Selasa, 04 Agustus 2009

Glasgow Coma Scale (GCS)

GCS

The Glasgow Coma Scale (GCS) atau kadang-kadang juga dikenal sebagai Glasgow Coma Skor adalah neurological skala yang bertujuan menilai kesadaran seseorang. GCS menaksir tingkat kerusakan otak dan mengenali tingkat cedera dengan menilai reaksi atas tiga hal. Pertama, bukaan mata (mata tak membuka, membuka dengan pancingan "disakiti", membuka dengan pancingan ajakan bicara, atau membuka spontan). Kedua, tanggapan saat diajak bicara (tanpa tanggapan, ada bunyi yang tak dipahami, kata-kata tak jelas, bingung, mengenali). Ketiga, tanggapan pada rangsang gerak (tak ada gerakan, tanggapan tertentu terhadap "nyeri", mengikuti perintah). Tiap reaksi punya nilai, antara 13 - 15 untuk cedera otak ringan, 9 - 13 buat cedera otak sedang, serta 8 atau kurang untuk cedera otak berat.
Skala :
Mata

4 : membuka mata tanpa stimulasi dalam kondisi terjaga penuh.
3 : bisa membuka mata jika distimulasi ditepuk tepuk badannya
2 : bisa membuka mata hanya jika disakiti
1 : tidak bisa membuka mata no respon

Verbal

5 : bisa menjawab sesuai yang ditanyakan
4 : bisa menjawab dengan kalimat, tapi tidak jelas.
3 : bisa menjawab dengan kata, tapi tidak jelas.
2 : hanya bisa menjawab dengan erangan
1 : no respond
Motorik

6 : bisa bergerak sesuai yang diperintahkan
5 : bisa bergerak ketika distimulasi melokalisir menepis stimulasi yang menyakiti
4 : bisa bergerak ketika distimulasi sakit, tapi bersifat withdrawal menghindari sumber sakit.
3 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi tidak mampu menghindar, cuma menekuk sendi
2 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi cuma reflek gerak sederhana meluruskan sendi
1 : no respon

Glasgow mencoba mengkaitkan antara kesadaran seseorang dengan reflek fisik. Jika fisiknya tidak bisa merespon stimulasi dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap menurun, sampai pada suatu batas terendahnya yaitu koma alias mati suri.
Total nilai antara respon mata, verbal, dan motorik diberi angka 15. Jika seseorang memperoleh nilai akumulatif 15 berarti orang tersebut berada dalam kondisi 'sadar' alias 'terjaga' penuh. Jika di bawah angka 8, ia sudah dikategorikan sebagai koma.
Akan tetapi, orang yang memiliki angka tertinggi dalam skala Glasgow sebenarnya sekadar menggambarkan fungsi kesadaran dalam arti 'terjaga'. Dan itu, hanya sebagian saja dari fungsi kesadaran.
Sebab, nilai tersebut belum menggambarkan nilai-nilai luhur dari 'Kesadaran' seseorang.
Misalnya, apakah orang yang 'terjaga' itu sedang bahagia, ataukah kecewa. Ia sedang tentram ataukah merasa gelisah. Apakah ia sedang penuh rasa cinta ataukah penuh dendam. Ia bisa membuat keputusan dengan sikap bijaksana ataukah marah dan putus asa. Dan lain sebagainya.
Apa yang diukur Glasgow adalah sekadar nilai kuantitatif 'Kesadaran'. Sedangkan fungsi luhur adalah bersifat kualitatif. Pengukuran fungsi luhur seseorang biasanya diukur dengan metode psikotest.
Kesadaran yang bersifat kualitatif ini sangat berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukkan fungsi akal yang juga baik.
Sedangkan kualitas kesadaran yang jelek, menggambarkan fungsi akal yang juga jelek.
Dengan kata lain, secara umum, fungsi kesadaran sangat berimpit dengan fungsi akal. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa keduanya adalah identik. Karena itu, kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas Jiwa seseorang.
Kualitas akal dan kesadaraan yang baik, menggambarkan fungsi jiwanya baik. Sebaliknya kualitas akal dan kesadaran yang jelek menggambarkan fungsi Jiwa yang jelek. Secara ekstrim dikatakan, jika akal dan kesadarannya rusak, maka Jiwanya pun rusak. Dan begitulah sebaliknya.
Maka, pada kesempatan ini kita memperoleh kesimpulan bahwa 'Akal' dan ‘Kesadaran’ adalah fungsi utama pada Jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berJiwa sehat, jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan Jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.

SPORT MEDICINE

SPORT MEDICINE

Tujuan sport medicine : mencegah cedera atau masalah apapun yang terjadi akibat aktivitas olahraga dan menyediakan pengobatan yang tepat dan tepat.

WHAT TO DO :

1) menganalisa situasi, menentukan pasien dengan luka apakah ini

2) menyediakan pelayanan medis

3) tentukan apakah pengobatan yang kita berikan sudah cukup, apakah perlu observasi lebih lanjut atau perlu dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan terdekat

4) jika tidak boleh kembali ke aktivitasnya, apakah boleh pasien beraktivitas lagi sewaktu-waktu.

EPIDEMOLOGY TRIANGLE

(yang sakit) HOST

(penyebab sakit) AGENT ENVIRONMENT (fasilitas)

ü Semakin profesional tingkat pertandingannya, semakin sedikt cederanya.

Pre-participation examination adalah sebuah penemuan dalam dunia kedokteran dalam bidang sport medicine yakni cara untuk membuat lingkungan yang aman. Pre-participation examination ini berupa lembaran yang dibagikan sebelum suatu kegiatan olahraga (seperti pertandingan atau kejuaraan) dilaksanakan, untuk memastikan kesehatan peserta. Isinya meliputi biodata peserta, riwayat medis, dokter siapa yang merawat, obat-obat tertentu yang dikonsumsi, dan riwayat penyakit menurun.

Ada dua kasus dalam cedera, yaitu kasus traumatik (ada benturan) dan non-traumatilk (tidak ada benturan). Contoh dari kasus non-traumatik adalah exercise-induces asthma, cardiovascular disease, dermatologic disorder, blood-borne pathogens, allergic reaction, dan dyspepsia. Sementara contoh dari kasus traumatik adalah fractures, dislocation, soft tissue injuries, dan bleeding.

Exercice-induces asthma sering terjadi akibat kelelahan. Adapun untuk menentukan bahwa seseorang terserang asma dapat dilihat dari respiration rate yang meningkat yakni 16-24 kali/menit, denyut nadi meningkat, ekspirasi memanjang, wheezing, batuk berdahak, dan ada riwayat asma. Untuk prosedur penanganannya ada dua versi. Pertama, memberikan oksigen dengan segera. Kedua, tidak memberikan oksigen terlebih daluhu tetapi membuka jalan udara di bronkus dengan obat, karena pasien asma susah mengeluarkan oksigen bukan susah memasukkan oksigen, setelah itu barulah diberi oksigen.

Allergic reaction pada umumnya disebabkan oleh kontak dengan serangga, tumbuhan, binatang atau karena alergi terhadap makanan tertentu. Gejalanya meliputi gatal dan bengkak.

Dyspesia adalah sindrom dari perut bagian atas, salah satu bentuknya adalah maag. Umumnya disebabkan karena makan tidak teratur dan stres fisiologis. Adapun gejalanya meliputi nyeri epigastrik, mual dan sakit kepala

Fracture adalah discontinuitas jaringan tulang. Ada dua jenis fraktur, yaitu open fracture (patah tulang, terlihat luka dari luar) dan close fracture (patah tulang, luka didalam dan tidak terlihat dari luar). Penyebabnya meliputi direct trauma, indirect trauma, dan pathologic fracture (misalnya : osteoporosis). Fraktur dapat diketahui dengan look (bentuk tidak normal, disfungsi, memar, bengkak), feel (nyeri), dan move (abnormal mobolity, sakit, crepitation (merupakan tanda pasti), penurunan gerakan). Prosedur penanganannya yakni tidak menyakiti, ABC, mengembalikan tulang ke posisi semula, mengurangi gerakan tulang yang mengalami fraktur, dan rujuk ke rumah sakit.

Dislocation adalah keluarnya kepala sendi dari mangkok sendi. Adapun prosedur penanganannya adalah dengan direposisi.

Soft tissue injuries atau cedera jaringan lunak meliputi sprains, strains, dan contusion. Sprains adalah nyeri pada ligamen atau sendi, strains adalah nyeri pada otot, dan contusion adalah pendarahan di bawah kulit. Penanganannya adalah dengan mnggunakan langkah RICE.

RICE treatment adalah recommended procedures untuk menangani cedera jaringan lunak yang meliputi rest, ice, compression, dan elevation. Rest, mengistirahatkan bagian yang cedera; Ice, ditempel dengan es yang dibungkus dengan kain; compression, ditekan dan dibalut dengan elastic bandage; dan elevation, menaikkan bagian yang cedera.

Bleeding atau pendarahan. Prosedur penanganannya yakni tekan di tempat pendarahan secara langsung dan konstan, evaluasi, dan beri obat pada luka.

Kegawatdaruratan

HEAT STROKE

Suatu keadaan dimana terjadi akibat serangan panas dan mengakibatkan sistem normal tubuh rusak. Heat stroke terjadi akibat:

· Temperatur tubuh meningkat ( 37,50 yang disebut hireksia, 39,5 hiperpireksia )

· Mekanisme dalam pandinginan suhu tubuh kacau

ü Kerja di tempat yang panas

ü Kekurangan minum

Heat Transfer

1. Konduksi ( melalui zat padat )

2. Konveksi ( melalui zat cair )

3. Radiasi ( pancaran )

4. Evaporasi ( dari bernapas, hidung , dan mulut )

Trias Heat stroke

1. Hiperpereksia ( 39.5 0 c )

2. Abnormalitas SSP ( Sistem Saraf Pusat )

3. Kulit yang panas dan kering

Kategori Heat Stroke

1. Heat Exhaustion ( tidak begitu berbahaya )

Gejala : keringat dingin, kulit dingin

2. Heat Stroke ( sangat berbahaya )

Heat Stroke Management

1. Moving early ( pindahkan secepatnya ke tempat yang sejuk )

2. Beri air yang cukup

3. Usahakan agar temperatur tubuh menurun

4. Lepaskan pakaiannya

5. Monitoring terus temperatur badan

6. Tidak boleh dikasi obat

7. Secepatnya rujuk ( maximal kurang dari 2 jam )

LUKA BAKAR ( COMBUSTIO )

Penyebabnya api, panas , arus listrik, cairan keras (kimia), dan kebekuan (kedinginan)

Mekanisme luka ledakan atau pun bunuh diri. Masalah yang mengancam adalah shock dan resusitasi telat.

Combustio sangat tergantung dari derajat dan luas,berdasarkan kedalamannya, sehingga dibagi menjadi 3 tipe:

1. Superficial : luka bakar yang hanya mengenai jaringan epidermis

2. Partial Thickness (second degree) : mengenai jaringan epidermis, dermis, dan Subcutan (ditandai dengan luka bakar yang melepuh, berisi kantong-kantong nanah)

3. Full Thickness (third degree) : mengenai semua jaringan hingga muscle (otot)

Manajemen Luka bakar

Ø Anamnesis ( Tanya pasien kenapa, bagaiman bias terjadi )

Ø Prosedur A (Airway) B (Breathing) C (Circulation) D (Disability) E (Exposure)

Ø Resusitasi Cair (Formula Baxter)

Ø Monitoring vital sign : Suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kesadaran, urine output (kencing sedikit berarti luka bakar) , dirujuk jika diperlukan

Fase early : 72 jam (shock)

Fase Intermediate : 2-4 minggu (inflamasi)

Fase Late : lebih dari 4 minggu (psikiatrik)

Catatan :

Formula Baxter

Dewasa : Ringer laktat 4 cc x berat badan x %luas luka bakar/hari

PRINSIP : ½ jumlah cairan diberikan pada 8 jam pertama, ½ lagi diberikan pada 16 jam berikutnya.

ü Luka bakar boleh dibersihkan dengan air mengalir (udah dimasak) atau menggunakan alkohol.

SHOCK ( circulatory )

Suatu syndrome klinik akibat kegagalan perfusi ( suplai darah yang kurang ) jaringan / mikrosirkulasi akan terjadi 2 hal :

1. Hipoksia ( kurang oksigen ), Anoksia ( tidak dapat oksogen sama sekali )

2. Gangguan fungsi sel

Tipe :

1. Cardiogenik

2. Hipovolemik : defisit volume sirkulasi, kurang cairan (berikan air)

3. Distributif : gangguan pembuluh darah

4. Hipoglikemik : kurang glukosa

5. Anafilaktik : alergi obat

Gejala – gejala :

1. Tekanan darah menurun tekanan systole kurang dari 90 mmHg

2. Nadi meningkat lebih besar 100 kali per menit

3. GCS menurun

4. Hipoperfusi perifer

5. RR meningkat lebih besar dari 30 kali per menit

6. Produksi urine berkurang / tidak ada

TRIAGE

Seleksi korban massal

Sistem yang digunakan START ( Simple Triage And Rapid Treatment ) diberikan pada korban disaster. Sifatnya sangat subyektif dari komandan ( dokternya ) Harus memahami ABCDE standar.

Recovery position agar pasien aman ( tidak ada sumbatan )

Seorang komandan sebaiknya bersiap menjadi pembunuh berdarah dingin

Arti warna pada pita :

  1. Hijau : ringan, bisa di tunda penanganannya(ditangani ketiga)
  2. Kuning : luka sedang, beri penanganan (ditangani kedua)
  3. Merah : Gawat darurat, perlu penanganan segera (yang ditangani pertama)
  4. Hitam : Mati, ditinggalkan saja

START SYSTEM

1. Delayed Victims

2. Pemeriksaan napas

Bernapas

TIDAK ADA

Buka jalan napas <3min <30min

Tidak Bernapas Ya MERAH Nilai sirkulasi

HITAM

3. Pemeriksaan sirkulasi

Sirkulasi

NO Nadi YES Nadi Status mental

-nilai dan kendalikan pendarahan

- tinggikan tungkai 20-40 cm

MERAH

4. Penilaian cedera kepala

Menilai status mental (Kesadaran) dengan memberikan perintah sederhana.

Jika tidak ada : MERAH

Jika ada : KUNING (Jika tidak bisa bangun) atau HIJAU

RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK

RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK (RJPO)

Resusitasi adalah semua tindakan darurat untuk menghentikan proses yang menuju kematian (penyelamatan jiwa). Beberapa tindakan penyelamatan jiwa ini adalah :

  1. Basic Life Support (BLS)
  2. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
  3. Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO)

Jika pasien berhenti bernapas lebih dari 4-6 menit akan menyebabkan suplai glukosa dan oksigen berkurang, dan jika tidak ada tindakan penyelamatan jiwa, napas pasien akan berhenti (meninggal). Oleh karena itu, tindakan ini sangat penting untuk dipelajari.

Penanganan Basic Life Support :

  1. Sadarkah?

Jika tidak sadar, segera bebaskan jalan napas pasien.

  1. Bernapaskah?
  2. Berdenyutkah?

Dalam resusitasi, seringkali kita menemui pasien gawat darurat. Pasien gawat darurat adalah pasien yang sangat perlu pertolongan cepat, tepat, dan cermat untuk mencegah kematian. Pasien yang termasuk pasien gawat darurat misalnya, pasien yang terluka karena tenggelam, stroke, obstruksi/benda asing, reaksi anafilaksi, ovedosis obat, inhalasi asap, dll.

Tindakan pertama dalam menerima pasien :

Pastikan korban sadar ataupun tidak ketika disapa.

  1. Pasien sadar : ajak bicara, jika suara jelas, itu berarti airway bebas.
  2. Pasien tidak sadar, maka nilai jalan napas dengan 3 langkah yakni :
    1. LOOK : lihat gerak napas pada dada/ perut
    2. LISTEN : dengankan suara napas
    3. FEEL : rasakan dan raba gerakan napas
  3. Tidak ada napas : berikan napas buatan 2 kali, jika ada berikan oksigen
  4. Ada napas : cari suara napas tambahan seperti snoring (pangkal lidah), gargling (cairan), crowing (edema larynx)

Jika korban tidak sadar, perlu diingat BEBASKAN JALAN NAPAS. Cek kesadaran, jika korban diam seperti mati, maka harus dirangsang bisa dengan cubitan atau pukulan, tetapi yang tidak menyebabkan luka.

>> Jika korban menjawab/bergerak, maka biarkan pasien tetap pada posisi ditemukan (kecuali ada bahaya pada posisi tersebut). Periksa keadaannya secara berkala dan teratur.

>> Jika tidak ada respon, berteriaklah mencari bantuan. Buka jalan napas dengan mendorong dahi (head tilt), mengangkat dagu (chin lift), atau jow thrust (gabungan kedua teknik tadi) dengan tujuan untuk menarik lidah.

Teknik yang sering digunakan dalam RJPO adalah ABCDEF. Tapi, poin yang terpenting adalah bagian ABC.

A = AIRWAY. Membuka jalan napas dengan 3 teknik yakni head tilt, chin lift, atau jow thrust

B = BREATHING. Posisi recovery dianjurkan untuk membebaskan jalan napas, menghilangkan sumbatan, jika perlu diberikan napas buatan, sehingga pasien kembali bernapas

C = CIRCULATION. Jika pasien tidak bernapas, segera cari denyut nada pasien dengan meraba pembuluh dara radialis / karotis. Jika masih ada, segera lancarkan sirkulasi darah pasien dan bebaskan jalan napas dengan memberikan kompresi 30 kali, kemudian napas buatan 2 kali hingga pasien sadar kembali. Jika tidak ada, tidak perlu melanjutkan tidakan penyelamatan karena itu berarti pasien sudah meninggal.

D = DRUGS AND FLUID TREATMENT

E = ELECTROCARDIOGRAPHY

F = FIBRILLATION TREATMENT

Pada tahap DEF merupakan tahan kedua dalam menerima pasien (bantuan hidup lanjut dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan)

>> Teknik Kompresi pada tahap Circulation

Semakin sering dilakukan kompresi, semakin banyak darah yang didistribusikan keluar. Untuk mencari titik tumpu dalam kompresi adalah dengan meletakkan 3 jari dari prosesus sipodeus (taju pedang), tekan dada agak di sebelah kiri dengan menggunakan kedua tangan, tetapi hanya bertumpu dengan satu tangan (disarankan tumit tangan kanan agar lebih kuat kompresinya). Posisi tangan tidak boleh menekuk.

>> Teknik Pemberian Napas Buatan pada tahap Breathing dan Circulation

Buka sedikit mulut pasien, ambil napas panjang dan tempelkan rapat-rapat bibir penolong melingkari mulut pasien. Usahakan untuk meminimalisasi kontak langsung dengan pasien ketika memberikan napas buatan ini agar tidak tertular penyakit. Kemudian, periksa tanda-tanda sirkulasi meskipun napas buatan belum berhasil (selama 10 detik). Cari apakah ada gerakan yang menandakan pasien bernapas seperti gerakan menelan. Kemudian raba nadi carotis pasien. Lakukan tahapan tersebut berulang kali sampai pasien kembali bernapas.

HIDUP OPTIMIS DENGAN DIABETES MELITUS

HIDUP OPTIMIS DENGAN DIABETES MELITUS

Indira Dharmasamitha

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dewasa ini, diabetes telah menyerang sekitar 246 juta orang diseluruh dunia atau sekitar 6% dari populasi dewasa. Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2025 angka insiden penyakit ini naik hingga 12,4 juta orang dari yang sebelumnya 4,5 juta orang (1995). Sungguh penyakit yang sangat serius.

Sebelum mengenal apa itu diabetes, kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana tubuh kita mengelola gula. Gula dalam darah atau yang disebut glukosa merupakan salah satu sumber energi bagi tubuh kita. Glukosa didapatkan dari 2 sumber, yakni makanan dan yang diproduksi oleh hati. Ketika makanan masuk kedalam tubuh, gula dari makanan dicerna dalam usus kemudian diserap ke dalam aliran darah. Dengan bantuan ”teman” yang disebut hormon insulin. Glukosa ini akan dihantar ke sel tubuh dan jaringan sebagai sumber energi. Sehingga saat kita makan, kadar glukosa darah tetap seimbang berkat jasa hormon insulin yang dihasilkan oleh sel beta di pulau Langerhans pada pankreas.

Organ lain yang penting dalam pengolahan dan penyimpanan glukosa adalah hati. Ketika kita makan, kadar insulin dalam tubuh akan meningkat dan hati akan menyimpan kelebihan glukosa dalam bentuk glikogen. Sedangkan pada saat kita lapar atau tidak makan, timbunan gula dalam hati (glikogen) akan diubah menjadi glukosa kembali dan diedarkan ke sel-sel tubuh melalui aliran darah agar kita tetap bisa beraktifitas.

Pada penderita diabetes, terjadi gangguan dalam transportasi glukosa ke dalam sel, glukosa yang disimpan di hati, dan glukosa yang keluar dari hati. Inilah yang menyebabkan glukosa dalam darah naik yang kemudian keluar melalu urine sehingga penyakit ini disebut juga kencing manis. Penyebabnya ada 2, yang pertama adalah pankreas tidak mampu lagi memproduksi insulin atau sel tubuh kita tidak merespon kerja insulin sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh.


Sebelumnya, mari kita mengenal terlebih dulu macam-macam diabetes:

  1. Diabetes tipe 1

Diabetes jenis ini mutlak memerlukan suntikan insulin karena pankreas sebagai pabrik insulin sudah tidak mampu memproduksi insulin lagi. Biasanya dijumpai pada usia yang masih muda.

  1. Diabetes tipe 2

Diabetes ini paling sering dijumpai. Pankreas masih bisa memproduksi insulin akan tetapi kualitasnya tidak baik atau bisa karena sel tubuh tidak lagi peka atau resisten terhadap insulin. Keadaan ini umumnya terjadi pada orang yang gemuk atau obesitas. Pada tahap pertama, biasanya diberikan obat anti diabetes (OAD) dan edukasi untuk mengubah gaya hidup. Jika sudah terjadi komplikasi diperlukan terapi insulin untuk penanganannya.

  1. Diabetes Kehamilan

Diabetes ini terjadi sekitar 2-5 persen kehamilan. Terjadi karena pembentukan beberapa hormon saat ibu hamil yang kemudian menyebabkan sel tubuh tidak peka (resisten) terhadap kerja insulin sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel tubuh.

  1. Diabetes yang lain

Diabetes ini terjadi akibat dari penyakit lain yang mengganggu produksi insulin. Penyebab diabetes macam ini misalnya malnutrisi, radang pankreas, gangguan kelenjar adrenal/hipofisis, penggunaan hormon kortikostereoid, dll.

Menurut kriteria Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), diagnosis diabetes dapat ditegakan jika kadar glukosa darah puasa sudah di atas 126 mg/dl dan glukosa darah 2 jam setelah makan di atas 200 mg/dl. Selain itu terdapat pula gejala klinis klasik yang muncul seperti banyak makan, sering buang air kecil, cepat haus, berat badan turun, dan lemas.

Jika anda sudah terdiagnosis penyakit ini, tentunya anda akan mengalami beberapa perubahan dalam hidup anda. Disamping pengobatan dengan obat oral anti diabetes maupun terapi insulin, perubahan gaya hidup seperti menjaga makanan anda dan hidup lebih aktif adalah yang paling utama. Pada dasarnya, anda akan mengatur 3 bahan dasar makanan, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak, meramunya menjadi makanan yang menarik dan tentunya tidak meracuni tubuh anda. Sedikit mengkonsumsi makanan karbohidrat dan lemak, perbanyak makan sayur dan buah. Jika terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat, akan meningkatkan kadar trigliserida dan glukosa darah tidak terkontrol baik. Untuk penderita diabetes, disarankan makan makanan yang memiliki Glycemic Index(GI) rendah. GI adalah ukuran kecepatan tubuh menyerap suatu karbohidrat dari makanan. Contoh makanan yang ber-GI rendah: roti gandum, cereal dari gandum, biskuit gandum, buah yang dikupas tipis, cake atau muffin dari buah, kentang segar, apel, plum, jus buah dengan ampasnya, buncis, biji-bijian, dan beras basmati. Mengkonsumsi makan yang mengandung protein berlebihan juga tidak baik. Pilihlah makanan yang mengandung protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, keju rendah lemak, daging yang kurus, atau protein nabati. Sumber protein nabati antara lain tahu, tempe, kacang polong, buncis, arcis, serta kedelai. Hindari makanan yang digoreng, jika iya gunakanlah minyak nabati untuk menggorengnya. Pilihlah makanan/cemilan yang fat-free atau low fat. Gunakan bumbu masak dari tumbuhan sebagai penyedap makanan. Selain itu, olahraga mutlak dilakukan oleh penyandang diabetes dimana akan membantu anda dalam mengontrol glukosa darah. Olahraga yang cocok untuk penderita diabetes adalah olahraga yang tidak terlalu berbahaya seperti aerobik. Olahraga ini tidak membebani jantung dan paru, bahkan melatih napas paru-paru dan denyut jantung. Yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan kaki, jogging, bersepeda, dansa aerobik, senam, renang, dan peregangan otot. Lama olahraga tidak perlu terlalu lama, cukup 30 menit sehari selama 5-7 hari dalam seminggu. Mulailah dengan 10 menit per hari, kemudian tiap minggu ditingkatkan 5 menit sampai akhirnya mencapai 30 menit.


Seorang penderita diabetes sebisa mungkin menghindari cedera karena sedikit cedera dapat berakibat buruk bahkan fatal. Oleh karena itu keamanan dalam melakukan aktivitas fisik atau berolahraga harus diperhatikan seperti memakai tanda pengenal sehingga pertolongan cepat dapat dilaksanakn jika orang lain mengetahui anda penderita diabetes. Pilihlah pakaian dan sepatu yang benar dan nyaman untuk berolahraga. Rutinlah memeriksa kaki anda jika ada tergores atau iritasi harus segera diobati atau dibalut agar tidak parah. Minum banyak air untuk mengganti cairan tubuh yang keluar saat beraktivitas juga harus diperhatikan karena dehidrasi akan berdampak sangat buruk bagi penderita diabetes. Jangan lupa untuk melakukan pemanasan sebelum anda berolahraga. Jika anda merasakan pusing atau terasa mau pingsan, rasa sakit pada ulu hati, dada terasa sesak, napas pendek, nyeri dada, dan jantung berdebar segera hentikan olahraga anda dan segera minta bantuan tenaga medis terdekat untuk menghindari syok hipoglikemik (kondisi tubuh kekurangan asupan gula).

Yang tidak kalah pentingnya bagi penderita diabetes adalah kontrol glukosa darah (self monitoring). Bisa dilakukan dengan membeli alatnya sendiri (glucometer) yang sudah beredar dipasaran atau langsung mengunjungi dokter anda. Kontrol glukosa darah sangat penting dalam pengobatan dan pencegahan komplikasi. Kapan dan seberapa sering tergantung pada tipe diabetes dan rencana pengobatan dokter anda. Bagi pasien muda sasaran glukosa darah puasa adala 80-120 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan tidak lebih dari 180 mg/dl. Sedangkan pasien yang lebih tua glukosa darah puasa 100-140 mg/dl dan 2 jam sesudah makan dibawah 200 mg/dl.

Yang menjadi masalah bagi penderita diabetes bukanlah bagaiamana ia sampai terkena diabetes atau tipe diabetes apa yang ia derita. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mengubah gaya hidup menjadi lebih optimis, sehat, dan lebih aktif.

Oleh karena itu, jika sekarang anda sadar gaya hidup anda tidak sehat dan mengundang berbagai penyakit, rubahlah dari sekarang. Karena tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah perubahan.

Rabu, 22 Juli 2009

PENATALAKSANAAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 1 PADA ANAK DENGAN TERAPI POMPA INSULIN

Well, it's a new start. Perhaps, you guys, will love what i've written.

PENATALAKSANAAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 1 PADA ANAK DENGAN TERAPI POMPA INSULIN
Indira Dharmasamitha
Special Study Skill in Insulin Therapy, Fakultas Kedokteran UNUD

Pendahuluan
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat ganguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Banyak orang pada awalnya tidak tahu bahwa mereka menderita diabetes. Di negara maju seperti Amerika misalnya, dari sekitar 16 juta penderita diabetes, 7 juta diantaranya baru mengetahui bahwa diri mereka menderita diabetes setelah mengalami komplikasi di berbagai organ tubuh. Laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penderita diabetes. Angka ini terus bertambah hingga 3 persen atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian, jumlah penderita diabetes diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2025 dan setengah dari angka tersebut berada di Asia, terutama India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Diabetes telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan oleh diabetes. Di Amerika sekalipun, angka kematian akibat diabetes bisa mencapai 200.000 orang per tahun. Angka penderita diabetes yang didapatkan di Asia Tenggara adalah : Singapura 10,4 persen (1992), Thailand 11,9 persen (1995), Malaysia 8 persen lebih (1997), dan Indonesia (5,6 persen (1992). Kalau pada 1995 Indonesia berada di nomor tujuh sebagai negara dengan jumlah diabetes terbanyak di dunia, diperkirakan tahun 2025 akan naik ke nomor lima terbanyak. Pada saat ini, dilaporkan bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, sudah hampir 10 persen penduduknya mengidap diabetes.1
Insiden diabetes melitus tipe 1 sangat bervariasi di tiap negara. Dari data-data epidemiologik memperlihatkan bahwa puncak usia terjadinya DM pada anak adalah pada usia 5-7 tahun dan pada saat menjelang remaja. Sedangkan, insiden penderita diabetes melitus tipe 1 pada anak meningkat secara signifikan di negara Barat. Merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi para orangtua dan dokter dalam pengobatan diabetes melitus tipe 1 pada anak yang berumur di bawah 12 tahun. Seiring perkembangan teknologi yang makin pesat dan meningkatnya permintaan pasien diabetes melitus yang mendambakan pengobatan efektif dan aman tanpa terus-terusan harus menginjeksikan insulin ke tubuh mereka, sebagai alternatif digunakanlah pompa insulin yang kini menjadi favorit penderita pasien diabetes di Amerika, terutama diabetes melitus tipe 1. Akibatnya, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap pemakaian pompa insulin selama 1 dekade ini karena pasien DM tidak perlu menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menginjeksikan insulin ke tubuhnya terus menerus.
Tabel 1. Sepuluh Negara dengan Jumlah Penderita Diabetes Terbanyak (1995 dan 2025)*
1995 2025 (perkiraan)
Urutan Negara Jumlah (juta) Negara Jumlah (juta)
1 India 19.4 India 57.2
2 Cina 16.0 Cina 37.6
3 AS 13.9 AS 21,9
4 Rusia 8.9 Pakistan 14.5
5 Jepang 6.3 Indonesia 12.4
6 Brazil 4.9 Rusia 12.2
7 Indonesia 4.5 Meksiko 11.7
8 Pakistan 4.3 Brazil 11.6
9 Meksiko 3.8 Mesir 8.8
10 Ukraina 3.6 Jepang 8.5
Negara lain 49.7 103.6
Total 135.3 300
*dikutip dari IDF – World Atlas 2005
Banyak studi yang mengkaji keefektifan dan keamanan penggunaan pompa insulin ini dibandingan terapi insulin konvensional, yakni terapi insulin injeksi. Meta analisis yang menguji penggunaan pompa insulin pada orang dewasa menunjukan kemajuan yang signifikan terhadap kontrol glikemik dan penurunan insiden hipoglikemia. Diharapkan, penggunaan pompa insulin dapat menurunkan angka insiden hipoglikemia pada pasien diabetes melitus, terutama pada anak-anak. Studi 2002 Pickup dan Keen mengindikasikan lebih dari 130.000 pasien diabetes yang berada di Amerika menggunakan pompa insulin. Namun, kini produsen memperkirakan sekitar 375.000 pasien di Amerika Serikat menggunakan pompa insulin 5
Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Diabetes ini muncul ketika pankreas sebagai pabrik insulin tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin. Akibatnya, insulin tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Glukosa menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Biasanya, diabetes tipe ini sering terjadi pada anak dan remaja tetapi kadang-kadang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan karena hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel B pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis, dan menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah.
Diduga diabetes tipe 1 disebabkan oleh infeksi atau toksin lingkungan yang menyerang orang dengan sistem imun yang secara genetis merupakan predisposisi untuk terjadinya suatu respon autoimun yang kuat yang menyerang antigen sel B pankreas. Faktor ekstrinsik yang diduga mempengaruhi fungsi sel B meliputi kerusakan yang disebabkan oleh virus, seperti virus penyakit gondok (mumps) dan virus coxsackie B4, oleh agen kimia yang bersifat toksik, atau oleh sitotoksin perusak dan antibodi yang dirilis oleh imunosit yang disensitisasi. Suatu kerusakan genetis yang mendasari yang berhubungan dengan replikasi atau fungsi sel B pankreas dapat menyebabkan predisposisi terjadinya kegagalan sel B setelah infeksi virus. Lagipula, gen-gen HLA yang khusus diduga meningkatkan kerentanan terhadap virus diabetogenik atau mungkin dikaitkan dengan gen-gen yang merespon sistem imun tertentu yang menyebabkan terjadinya predisposisi pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-sel pulaunya (islets of Langerhans) sendiri atau yang dikenal dengan istilah autoregresi. 1,2
Dari semua penderita diabetes, 5-10 persennya adalah penderita diabetes tipe 1. Di Indonesia, statistik mengenai diabetes tipe 1 belum ada, diperkirakan hanya sekitar 2-3 persen dari total keseluruhan. Mungkin ini disebabkan karena sebagian tidak terdiagnosis atau tidak diketahui sampai si pasien sudah mengalami komplikasi dan keburu meninggal. Biasanya gejalanya timbul secara mendadak dan bisa berat sampai mengakibatkan koma apabila tidak segera ditolong dengan suntikan insulin.
Manifestasi Klinis Diabetes Melitus tipe 1
Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia (banyak makan), poliuria (banyak kencing), polidipsi (cepat haus), lemas dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.
Sedangkan pada diabetes melitus tipe 1, yang kebanyakan diderita oleh anak-anak ( diabetes melitus juvenil) mempunyai gambaran lebih akut, lebih berat, tergantung insulin dengan kadar glukosa darah yang labil. Penderita biasanya datang dengan ketoasidosis karena keterlambatan diagnosis. DM tipe 1 pada anak di Indonesia relatif jarang dibandingkan dengan negara Barat sehingga dokter maupun orangtua kurang memikirkan atau memperhatikan tentang kemungkinan adanya penyakit ini. Mayoritas penyandang DM tipe 1 menunjukan gambaran klinik yang klasik seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia disertai penurunan berat badan. Glukosa darah puasa biasanya diatas 200mg/dl dengan disertai ketonuria. Adanya penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, poliuria nokturnal serta enuresis, seharusnya menimbulkan kecurigaan adanya DM tipe 1 pada anak. Gejala-gejala lainnya dapat berupa muntah-muntah, nafas berbau aseton, nyeri atau kekakuan abdomen dan gangguan kesadaran koma.
Perjalanan klinis DM tipe 1 terbagi atas:
1. Fase Inisial
Dimulai saat timbulnya gejala sampai dengan ditegakkan diagnosis. Fase ini sering didahului oleh infeksi, goncangan emosi maupun trauma fisik.
2. Fase Penyembuhan
Fase setelah beberapa hari diberikan pengobatan. Keadaan akut penyakit ini telah teratasi dan sudah terdapat sensitivitas jaringan terhadap insulin.
3. Fase Remisi (Honeymoon period)
Fase ini khas pada penyandang DM tipe 1. Pada saat ini, kebutuhan insulin menurun sehingga dapat terjadi hipoglikemia bila insulin tidak disesuaikan. Bila dengan dosis insulin 0.1 IU/kg BB masih menyebabkan hipoglikemia maka pemberian insulin harus dihentikan. Pada fase ini perlu observasi dan pemeriksaan urin reduksi secara teratur untuk memantau keadaan penyakitnya. Fase ini berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Diperlukan penyuluhan pada penyandang DM atau orangtua bahwa fase ini bukan berarti penyembuhan penyakitnya.


4. Fase Intensifikasi
Fase ini timbul 16-18 bulan setelah diagnosis ditegakan. Pada fase ini terjadi kekurangan insulin endogen. 3,4

Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis dapat ditegakan jika didapat salah satu dari gejala di bawah ini :
1. Adanya gejala yang klasik seperti poliuria, polifagi, polidipsi, dan ketonuria, penurunan berat badan yang cepat disertai dengan kadar glukosa darh plas >200mg/dl.
2. Pada individu asimtomatik, jika terdapat peningkatan kadar glukosa darah puasa dan peningkatan kadar glukosa darah yang menetap selama dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO/OPGTT) yang dilakukan lebih dari 1 kali.
Cara pemeriksaan TTGO adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah
5. Berikan glukosa 75g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

WHO (1985) menganjurkan pemeriksaan standar seperti di atas, tetapi di Indonesia hanya memakai pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja. Sedangkan, TTGO pada anak seringkali tidak dibutuhkan karena gejala klinis yang khas.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)4
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah Kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah Kapiler
<110>200
>200

>126
>110

Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 1
Dalam jangka pendek, penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan/mengurangi keluhan/gejala DM. Sedangkan untuk tujuan jangka panjangnya adalah mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri. Kriteria pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kriteria pengendalian diabetes melitus 4
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah plasma vena (mg/dl)
- puasa
-2 jam
80-109
110-159
110-139
160-199
>140
>200
HbA1c (%) 4-6 6-8 >8
Kolesterol total (mg/dl) <200>240
Kolesterol LDL
- tanpa PJK
- dengan PJK
<130>159
>129
Kolesterol HDL (mg/dl) >45 35-45 <35>250
>200
BMI/IMT
- perempuan
- laki-laki
18,9-23,9
20 -24,9
23-25
25-27
>25 atau <18,5>27 atau <20>160/95

Akan tetapi, perbedaan utama antara penatalaksanaan DM tipe 1 yang mayoritas diderita anak dibanding DM tipe 2 adalah kebutuhan mutlak insulin. Terapi DM tipe 1 lebih tertuju pada pemberian injeksi insulin.
Penatalaksanaan DM tipe 1 menurut Sperling dibagi dalam 3 fase yaitu :
1. Fase akut/ketoasidosis
koma dan dehidrasi dengan pemberian cairan, memperbaiki keseimbangan asam basa, elektrolit dan pemakaian insulin.
2. Fase subakut/ transisi
Bertujuan mengobati faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, dll, stabilisasi penyakit dengan insulin, menyusun pola diet, dan penyuluhan kepada penyandang DM/keluarga mengenai pentignya pemantauan penyakitnya secara teratur dengan pemantauan glukosa darah, urin, pemakaian insulin dan komplikasinya serta perencanaan diet dan latihan jasmani.
3. Fase pemeliharaan
Pada fase ini tujuan utamanya ialah untuk mempertahankan status metabolik dalam batas normal serta mencegah terjadinya komplikasi
Untuk itu WHO mengemukakan beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan penyandang DM tipe 1, diantaranya :
1. Bebas dari gejala penyakit
2. Dapat menikmati kehidupan sosial sepenuhmya
3. Dapat terhindar dari komplikasi penyakitnya
Pada anak, ada beberapa tujuan khusus dalam penatalaksanaannya, yaitu diusahakan supaya anak-anak :
1. Dapat tumbuh dan berkembang secara optimal
2. Mengalami perkembangan emosional yang normal
3. Mampu mempertahankan kadar glukosuria atau kadar glukosa darah serendah mungkin tanpa menimbulkan gejala hipoglikemia
4. Tidak absen dari sekolah akibat penyakit dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan fisik maupun sosial yang ada
5. Penyakitnya tidak dimanipulasi oleh penyandang DM, keluarga, maupun oleh lingkungan
6. Mampu memberikan tanggung jawab kepada penyandang DM untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan taraf usia dan intelegensinya
Keadaan ideal yang ingin dicapai ialah penyandang DM tipe 1 dalam keadaan asimtomatik, aktif, sehat, seimbang, dan dapat berpartisipasi dalam semua kegiatan sosial yang diinginkannya serta mampu menghilangkan rasa takut terhadap terjadinya komplikasi. Sasaran-sasaran ini dapat dicapai oleh sebagian besar penyandang DM maupun keluarganya jika mereka memahami penyakitnya dan prinsip-prinsip penatalaksanaan diabetes. 1-4
Untuk mencapai tujuan ini penatalaksanaan dibagi menjadi :
1. Pemberian insulin
2. Penatalaksanaan dietetik
3. Latihan jasmani
4. Edukasi
5. Home monitoring (pemantauan mandiri )

Pemberian Insulin
Diabetes tipe 1 mutlak membutuhkan insulin karena pankreas tidak dapat memproduksi hormon insulin. Maka seumur hidupnya pasien harus mendapatkan terapi insulin untuk mengatasi glukosa darah yang tinggi. Penghentian suntikan akan menimbulkan komplikasi akut dan bisa fatal akibatnya.
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini terutama untuk :
1. Mempertahankan glukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal.
2. Menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kronis pada diabetes.
Keberhasilan terapi insulin juga tergantung terhadap gaya hidup seperti program diet dan olahraga secara teratur.
Sebelum membahas mengenai cara kerja pompa insulin pada pengobatan diabetes melitus tipe 1, akan dijelaskan mengenai cara kerja dan jenis insulin
Makanan terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Glukosa terutama bersumber dari karbohidrat walaupun protein dan lemak juga bisa menaikan glukosa. Karbohidrat dipecah menjadi glukosa dan masuk ke peredaran darah, dan glukosa darah dapat meningkat. Secara terus menerus pankreas melepaskan insulin pada saat makan atau tidak. Setelah makan, glukosa meningkat di dalam peredaran darah dan pengeluaran insulin oleh pankreas juga meningkat. Tugas pokok insulin adalah mengatur pengangkutan atau masuknya glukosa dari darah ke dalam sel sehingga glukosa darah bisa turun. Jadi, insulin berperan dalam mengatur kestabilan glukosa di dalam darah. Insulin juga bekerja di hati. Setelah makan, kadar insulin meningkat dan membantu penimbunan glukosa di hati. Pada saat tidak makan, insulin turun. Maka hati akan memecah glikogen menjadi glukosa dan masuk ke darah sehingga glukosa darah dipertahankan tetap dalam kadar yang normal.1-4
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan pemberian insulin adalah melalui suntikan, bisa suntikan di bawah kulit (subcutan/sc), suntikan ke dalam otot (intramuscular/im), atau suntukan ke dalam pembuluh vena (intravena/iv). Ada pula yang dipakai secara terus menerus dengan pompa (insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan semprot) ke dalam kulit (insulin medijector).
Enam tipe insulin berdasarkan mulain kerja, puncak, dan lama kerja insulin tersebut, yakni :
1. Insulin Keja Cepat (Short-acting Insulin)
2. Insulin Kerja Sangat Cepat (Quick-Acting Insulin)
3. Insulin Kerja Sedang (Intermediate-Acting Insulin)
4. Mixed Insulin
5. Insulin Kerja Panjang (Long-Acting Insulin)
6. Insulin Kerja Sangat Panjang (Very Long Acting Insulin)

Tabel 4. Insulin yang Tersedia dan yang Akan Tersedia di Indonesia
Tipe Insulin Mulai Kerja Puncak Lama Kerja
Ultra Short Acting (Quick-Acting, Rapid Acting) Insulin Analogues
Insulin Aspart (NovoRapid, Novolog)
Insulin Lispro (Humalog) 15-30 min 60-90 min 3-5 hr
Short-Acting (Soluble, Neutral)
Insulin Reguler, Actrapid, Humulin R 30-60 min 2-4 hr 6-8 hr
Intermediate-Acting (Isophane)
Insulatard, Humulin N, NPH 1-2 hr 4-8 hr 16-24 hr
Long-Acting Insulin (Zinc-based)
Monotard, Humulin Lente, Humulin Zn 1-3 hr 4-12 hr 16-24 hr
Very Long Acting Insulin
Insulin Glargine (Lantus)
Insulin Detemir (Levemir) 2-4 hr 4-24hr (nopeak) 24-36 hr
Mixed Insulin (Short + Intermedidiate-Acting Insulin)
Mixtard 30/70, NovoMix, Humulin 30/70 30 min 2-8 hr 24 hr

Terapi Pompa Insulin pada pasien Diabetes Melitus Tipe 1
Pompa insulin merupakan suatu alat yang tampak seperti pager yang digunakan untuk mengelola masuknya insulin ke dalam tubuh pasien diabetes. Sebuah pompa insulin terdiri dari sebuah tabung kecil (Syringe) yang berisikan insulin dan microcomputer yang membantu pasien untuk menentukan berapa banyak insulin yang diperlukan. Insulin dipompakan melalui selang infus yang terpasang dengan sebuah tube plastic ramping yang disebut cannula, yang dipasang pada kulit subkutan perut pasien. Selang infus harus diganti secara teratur setiap minggunya. Di Indonesia, alat ini masih jarang digunakan walaupun sudah ada distributornya. Akan tetapi di negara lain seperti Amerika, penggunaan alat ini kini menjadi favorit pasien diabetes karena keefektifan penggunaanya. 5
Indikasi penggunaan terapi insulin harus memenuhi kriteria di bawah ini :
- Menggunakan insulin lebih dari 3 kali sehari
- Kadar glukosa darah sering tidak teratur
- Lelah menggunakan terapi injeksi insulin
- Ingin mengurangi resiko hipoglikemi
- Ingin mengurangi resiko komplikasi yang berkelanjutan
- Ingin lebih bebas beraktifitas dan gaya hidup yang lebih fleksibel
Ketika seseorang memutuskan untuk menggunakan terapi pompa insulin, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni :
1. Mengecek kadar glukosa darah ( setidaknya 4 hari sekali, sebelum makan) untuk mengetahui berapa dosis insulin yang diperlukan untuk mengontrol kadar glukosa darah tubuh
2. Mulai memahami makanan yang anda makan. Apakah makanan tersebut membuat kadar glukosa darah tinggi atau tidak.
3. Perhatikan secara teratur ( setiap setelah makan) pompa insulin untuk meminimalisir kerusakan.
Menurut studi yang dilakukan National Institute of Health selama 10 tahun terhadap 1000 penderita diabetes melitus tipe 1, didapatkan bahwa penggunaan terapi insulin yang intensif, seperti contohnya menggunakan pompa insulin, dapat mengurangi komplikasi diabetes secara efektif. Studi ini menunjukan bahwa terapi insulin intensif :
- Mengurangi komplikasi kebutaan 76 %
- Mengurangi komplikasi amputasi 60 %
- Mengurangi resiko terkena penyakit ginjal 54 %
Sebelum adanya pompa insulin, satu cara yang bisa digunakan untuk memasukan insulin ke dalam tubuh yakni dengan menyuntikan insulin secara terus menerus ke tubuh setiap harinya. Pompa insulin bekerja seperti pankreas dan telah diprogram secara otomatis untuk memasukan insulin ke dalam tubuh kapan pun diperlukan.
Terapi pompa insulin atau yang dikenal dengan sebutan Continuous Subcutaneous Insulin Infusion (CSII) merupakan terapi yang paling menyerupai metode fisiologi tranfer insulin ke dalam tubuh. Insulin yang dipergunakan dalam pompa insulin adalah insulin “prandial” (short atau rapid acting insulin), sehingga dosis basal akan tertutupi oleh dosis prandial “bolus” yang diberikan secara intensif selama 24 jam.
Menurut studi retrospektif yang dilakukan Nimri, penggunaan pompa insulin terbukti menunjukan perbaikan kontrol glikemik terhadap anak yang menderita diabetes tipe 1. Kemajuan ini diikuti dengan penurunan insiden hipoglikemia dan penambahan berat badan terhadap anak-anak tersebut yakni 36.5 menjadi 11.1 kejadian per 100 pasien-tahun. 6-8

Gambar 1. Fisiologi kerja insulin dalam tubuh normal.




Keuntungan penggunaan pompa insulin yakni :
1. Terbebas dari penggunan multiple daily injection insulin
2. Penurunan kadar HbA1C yang terkontrol
3. Mengurangi frekuensi terkena hipoglikemia
4. Mengurangi variasi kadar glukosa darah
5. Meningkatkan fleksibilitas dan manajemen diabetes
Kekurangan Penggunaan pompa insulin yakni :
1. Ada resiko infeksi jika tidak mengganti insertion site pada cannula secara teratur
2. Pemeriksaan gula darah yang lebih sering
3. Memiliki resiko terkena hiperglikemi yang dapat mengakibatkan diabetic ketoacidosis yang lebih besar jika tidak mempergunakan pompa dalam jangka waktu yang lama.
Di Indonesia sendiri, insiden diabetes melitus tipe 1 sangat jarang. Sehingga penggunaan pompa insulin pun masih jarang digunakan. Walaupun alatnya sudah ada di Indonesia, akan tetapi harganya relatif mahal. Inilah yang membuat para dokter jarang merekomendasikan terapi pompa insulin kepada pasiennya yang menderita DM tipe 1 maupun tipe 2.
Daftar Pustaka
1. Tandra, Hans. 2007. Segala sesuatu yang harus Anda ketahui tentang Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
2. Katzung. B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2. Jakarta : Salemba Medika
3. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
5. Weinzimer SA, Ahern JH, Doyle EA, Vincent MR. Persistence of Benefits of Continuous Subcutaneous Insulin Infusion in Very Young Children With Type 1 Diabetes : A Follow Up Report. 2004;114:1601-1605
6. Berhe T, Postellon D, Wilson B, Stone R. Feasibility and Safety of Insulin Pump Therapy in Children Aged 2 to 7 Years With Type 1 Diabetes : A Retrospective Study. 2006;117:2132-2136
7. Nimri R, Weintrob N, Benzaquen H, Ofan R. Insulin Pump Therapy in Youth With Type 1 Diabetes: A Retrospective Paired Study. 2006;117:2126-2130
8. Philip M, Battelino T, Rodriguez H. Use of Insulin Pump Therapy in the Pediatric Age-Group. 2007;30:1653-1659