Rabu, 07 April 2010

RHINOSINUSITIS (SINUSITIS)


BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Menurut American Acadenny of Otolaryngology - Head & Neck Surger 1996, istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:

(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,

(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan

(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis. [1]

Sinusitis bisa disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, dan Streptococcus group A merupakan contoh bakteri yang dapat menyebabkan sinusitis. [1] Selain bakteri tersebut ada juga bakteri anaerob yang dapat menyebabkan sinusitis yaitu fusobakteria. Untuk virus yang dapat menyebabkan sinusitis adalah Rhinovirus, influenza virus, dan parainfluenza virus. [2]

Sinusitis dapa dibedakan menjadi dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Penyebab terjadinya sinusitis akut dan kronis pun berbeda. Untuk sinusitis akut itu biasanya terjadi karena rhinitis akut, faringitis, tonsilitis akut dan lain-lain. Gangguan drainase, perubahan mukosa, dan pengobatan merupakan penyebab terjadinya sinusitis kronis. [3]

Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua Negara dan angka prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya1. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit termahal karena membutuhkan biaya pengobatan cukup besar.[4] Kebanyakan penderita rhinosinusitis ini adalah perempuan. [5] Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Pada tahun 1999, penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama dengan Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi Saluran Nafas Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data di negara-negara lain. [6]

Untuk pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan dengan rinoskopi anterior pada rinosinusitis akan tampak adanya ingus yang purulen atau post nasal drip pada pemeriksaan faring. Adapun pemeriksaan penunjang antara lain transiluminasi, radiologi, endoskopi, kultur bakteri. Pungsi/aspirasi sebaiknya dilakukan setelah tanda akut mereda. [1] Gejala khas kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari. Sementara gejala lainnya adalah demam, rasa letih, lesu, batuk dan hidung tersumbat ataupun berlendir. Sakit pada muka di sekitar mata. Dan juga dapat mengalami kesulitan membedakan aroma atau bahkan mencium bau sama sekali

Pada daerah ini jika Anda mengetuk tulang atau menundukkan kepala, muka akan terasa sakit. Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosis banding sinusitis akut meliputi rinitis akut (common cold) dan Neuralgia trigeminal, rhinovirus, sinus tumor (polip), dan ISNA


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DESKRIPSI KASUS

Pada tanggal 18 Maret 2010, seorang pasian datang ke poliklinik THT RS Sanglah, Denpasar. Adapun identitas pasien adalah sebagai berikut:

Nama : Kadek Yuliarta

Umur : 24 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Tunjung No. 32, Denpasar

Pasien datang dengan keluhan utama hidung tersumbat, sering pilek yang hilang timbul, dan telinga terasa penuh. Selain itu pasien juga merasa ada cairan yang bergerak ditenggorokannya. Setelah dilakukan anamnesis, diperoleh data bahwa hidung tersumbat yang diderita pasien telah terjadi sejak ± 1 tahun yang lalu. Kadang pasien juga bersin-bersin, dan pipi kanan dan kiri terasa tegang yang telah dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu. Telinga kanannya terasa penuh sejak ± 1 bulan.

Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan adanya gangguan pendengaran (lateralisasi) pada tes pendengaran telinga kiri. Selain itu, pada terjadi deviasi septum kearah kanan. Pada mukosa hidung berwarna merah yang mengindikasikan peradangan. Terdapat pembengkakan pada konka. Tida ada data tentang riwayat pengobatan dan penyakit ini sebelumnya. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita atau pernah menderita rhinosinusitis ini. Data pendukung dari kasus ini adalah adalah water’s X-Ray.

2.2 DISKUSI DENGAN GAMBARAN UMUM TEORITIKAL

2.2.1 Definisi

Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansunusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis selalu melibatkan mukosa pada hidung dan jarang terjadi tanpa disertai dengan rhinitis maka sering juga disebut rhinosinusitis) .[1,7] Berdasarkan definisi, gejala acute rhinosinusitis terjadi kurang dari 3 minngu, gejala subacute rhinosinusitis terjadi paling tidak 21-60 hari dan gejala chronic rhinosinusitis terjadi lebih dari 60 hari. Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat anatomi (maxillary, ethmoidal, frontal, sphenoidal), organisme patogen (viral, bacterial, fungi), adanya komplikasi (orbital, intracranial) dan dihubungkan dengan beberapa faktor (nasal polyposis, immunosupression, anatomic variants).


2.2.2 Epidemiologi

Rhinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika dan jumlah yang mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. [5,8] Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kurang lebih dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami rhinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar $3.39 miliyar untuk pengobatan rhinosinusitis.[5,9] Sekitar 40 % acute rhinosinusitis merupakan kasus yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur.

Chronic rhinosinusitis mempengaruhi sekitar 32 juta orang per tahunnya dan 11,6 juta orang mengunjungi dokter untuk meminta pengobatan. Penyakit ini bersifat persisten sehingga merupakan penyebab penting angka kesakitan dan kematian. Adapun penyakit ini dapat mengenai semua ras, semua jenis kelamin dan semua umur.

2.2.3 Etiologi

Sinusitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen seperti bakteri (Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram (-), Pseudomonas, fusobakteria), virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus), dan jamur.

Patogen yang paling sering dapat diisolasi dari kultur maxillary sinus pada pasien sinusitis akut yang disebabkan bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Selain itu beberapa jenis jamur juga berperan dalam patogenesis penyakit ini seperti Mucorales dan Aspergillus atau Candida sp. Berikut beberapa penjelasan patogen yang berperan dalam penyakit sinusitis akut :

· Streptococcus pneumonia merupakan bakteri gram positif, catalase-negative, facultatively anaerobic cocci dimana 20 - 43 % dari sinusitis akut yang disebabkan bakteri pada kasus orang dewasa. [10]

· Haemophillus influenza merupakan bakteri gram negatif, facultatively anaerobic bacilli. H influenza type B merupakan penyebab pasti meningitis sampai pemakaian luas vaksin.

· Staphylococcus aureus sekarang ini dilaporkan mengalami peningkatan dalam patogen penyebab sinusitis akut yang disebabkan bakteri. [11]

Pada sinusitis kronik ada beberapa bakteri yang telah dapat dilaporkan yang berperan sebagai penyebab. Namun peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kronik belum diketahui sepenuhnya. Adapaun beberapa contohnya seperti Staphylococcus aureus, Coagulase-negative staphylococci , H influenza, M catarrhalis, dan S Pneumoniae. Disamping itu, ada beberapa jenis jamur yang dapat dihubungkan dengan penyakit ini seperti Aspergillus sp, Cryptococcus neoformans, Candida sp, Sporothrix schenckii dan Altemaria sp. Adapun etiologi yang mungkin dari pasien diatas adalah adanya infeksi dari bakteri. Hal ini karena pasien mengeluhkan adanya pilek yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri.

2.2.4 Patogenesis

Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal.[4,12] Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus.





Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia. Virus tersebut juga memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome). Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen. Menurut teori,patogenesis pasien di atas disebabkan oleh deviasi septum. Deviasi septum tersebut didapatkan dari pemeriksaan fisik.

2.2.5 Manifestasi kilinis

Manifestasi klinis yang khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari. Manifertasi klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala subyektif (dirasakan) dan gejala obyektif (dilihat).

· Gejala subyektif : demam, lesu, hidung tersumbat, sekresi lender hidung yang kental dan terkadang bau, sakit kepala yang menjalar dan lebih berat pada pagi hari.

· Gejala obyektif kemungkinan ditemukan pembengkakan pada daerah bawah orbita (mata) dan lama kelamaan akan bertambah lebar sampai ke pipi.

Sinusitis akut dan kronis memilki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena :

· Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat dibawah mata, sakit gigi dan sakit kepala

· Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi

· Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi.

· Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.

Pada pasien di atas kemungkinan sinus yang terinfeksi adalah sinus maksilla berdasarkan dari keluhan pasien. Pada pipi bagian sinistra pasien juga terdapat udema yang menunjukan penumpukan cairan pada sinus maksillaris pasien.


2.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Dalam menegakkan diagnosis penyakit sinusitis baik akut maupun kronik harus melakukan beberapa langkah seperti anamnesis (riwayat pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penegakkan diagnosis tersebut harus dilakukan dengan cermat sebab ini akan sangat mempengaruhi dokter terutama dalam penatalaksanaan pasien. Berikut langkah-langkah dalam mendiagnosis sinusitis baik akut maupun kronis.

a) Sinusitis Akut

· Anamnesis

Riwayat rhinitis allergi, vasomotor rhinitis, nasal polyps, rhinitis medicamentosa atau immunodeficiency harus dicari dalam mengevaluasi sinusitis. Sinusitis lebih sering terjadi pada orang yang mengalami kelainan kongenital pada imunitas humoral dan pergerakan sillia, cystic fibrosis dan penderita AIDS. Sinusitis yang disebabkan oleh bakteri sering salah diagnosis. Faktanya hanya 40–50 % dari kasus yang berhasil didiagnosis dengan tepat oleh dokter. [13]

Meskipun kriteria diagnosis sinusitis akut telah ditetapkan, tak ada satu tanda atau gejala yang kuat dalam mendiagnosis sinusitis yang disebabkan bakteri. Akan tetapi, sinusitis akut yang disebabkan bakteri harus dicurigai pada pasien yang memperlihatkan gejala ISPA yang disebabkan virus yang tidak sembuh selama 10 hari atau memburuk setelah 5–7 hari.

· Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang mungkin kita temui pada pasien seperti purulent nasal secretion, purulent posterior pharyngeal secretion, mucosal erythema, periorbital erythema, tenderness overlying sinuses, air-fluid levels on transillium of the sinuses dan facial erythema.[6]

· Pemeriksaan Penunjang

ü Pemeriksaan Laboratorium

ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dan C-reactive protein meningkat pada pasien sinusitis tapi hasil ini tidak spesifik. Hasil pemeriksaan darah lengkap juga diperlukan sebagai acuan pembanding. Pemeriksaan sitologi nasal berguna untuk menjelaskan beberapa hal seperti allergic rhinitis, eosinophilia, nasal polyposis dan aspirin sensitivity. Kita juga dapat melakukan kultur pada produk sekresi nasal akan tepai sangat terbatas karena sering terkontaminasi dengan normal flora.

ü Pemeriksaan Imaging

Pemerikasaan ini dilakukan terutama untuk mendapatkan gambaran sinus yang dicurigai mengalami infeksi. Ada beberapa pilihan imaging yang dapat dilakukan yaitu plain radiography (kurang sensitif terutama pada sinus ethmoidal), CT scan (hasilnya lebih baik dari pada rontgen tapi agak mahal), MRI (berguna hanya pada infeksi jamur atau curiga tumor) dan USG (penggunaannya terbatas). [6]

b) Sinusitis kronik

· Anamnesis

Sinusitis kronik lebih sulit didiagnosis dibandingkan dengan sinusitis akut. Dalam menggali riwayat pasien harus cermat, jika tidak maka sering salah diagnosis. Gejala seperti demam dan nyeri pada wajah biasanya tidak ditemukan pada pasien sinusitis kronik.

· Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik pasien sinusitis kronik ditemukan beberapa hal seperti pain or tenderness on palpation over frontal or maxillary sinuses, oropharyngeal erythema dan purulent secretions, dental caries dan ophthalmic manifestation (conjunctival congestion dan lacrimation, proptosis).

· Pemeriksaan Penunjang

ü Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan kultur hapusan nasal tidak memiliki nilai diagnostik. Kadang-kadang pada hapusan nasal ditemukan juga eosinopil yang mengindikasikan adanya penyebab alergi. Pemeriksaan darah lengkap rutin dan ESR secara umum kurang membantu, akan tetapi biasanya ditemukan adanya kenaikan pada pasien dengan demam. Pada kasus yang berat, kultur darah dan kultur darah fungal sangat diperlukan. Tes alergi diperlukan untuk mencari penyebab penyakit yang mendasari.

ü Pemeriksaan Imaging

Imaging yang tersedia untuk membantu dalam menegakkan diagnosis sinusitis kronis seperti plain radiography, CT scan, dan MRI. Prinsip penggunaannya sama pada sinusitis akut. [3,7]



Dilihat dari hasil anamnesis pasien seperti yang sudah tertulis diatas, dan menurut teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita sinusitis tipe kronik. Hal ini karena menurut keluhan pasien, gejala ini sudah muncul sejak 1 tahun yang lalu.

Adapun beberapa diagnosis banding dari masing-masing tipe sinusitis yaitu :

a) Sinusitis Akut : asthma, bronchitis, influenza, dan rhinitis alergi

b) Sinusitis Kronik : FUO, gastroesophageal reflux diseases, rhinitis alergi, rhinocerebral mucormycosis dan acute sinusitis. [3]

2.2.7 Penatalaksanaan dan Follow Up

a) Sinusitis Akut

Tujuan dari terapi sinusitis akut adalah memperbaiki fungsi mukosilia dan mengontrol infeksi. Terapi sinusitis karena infeksi virus tidak memerlukan antimikrobial. Terapi standard nonantimikrobial diantaranya topical steroid, topical dan atau oral decongestan, mucolytics dan intranasal saline spray.

Berdasarkan pedoman Sinus and Allergy Health Partnership tahun 2000, terapi sinusitis akut yang disebabkan bakteri dikatakorikan menjadi 3 kelompok :

· Dewasa dengan sinusitis ringan yang tidak meminum antibiotik : Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin (1.5-3.5 g/d), cefpodoxime proxetil, atau cefuroxime direkomendasikan sebagai terapi awal

· Dewasa dengan sinusitis ringan yang telah mendapat antibiotik sebelumnya 4 – 6 minngu dan dewasa dengan sinusitis sedang : Amoxicillin/clavulanate, amoxicillin (3-3.5 g), cefpodoxime proxetil, atau cefixime

· Dewasa dengan sinusitis sedang yang telah mendapat antibiotik sebelumnya 4 – 6 minggu : Amoxicillin/clavulanate, levofloxacin, moxifloxacin, atau doxycycline. [7]

b) Sinusitis Kronik

Terapi yang dapat dilakukan pertama kali seperti mengontrol faktor-faktor resiko karena sinusitis kronik memiliki banyak faktor resiko dan beberapa penyebab yang berpotensial. Selain itu, terapi selanjutnya yaitu mengontrol gejala yang muncul serta pemilihan antimikrobial (biasanya oral) yang di pakai.

Tujuan utama dari terapi dengan menggunakan obat yaitu untuk mengurangi infeksi, mengurangi kesakitan dan mencegah terjadinya komplikasi. Adapun berikut beberapa contoh antibiotik yang digunakan seperti :

· Vancomycin (Lyphocin, Vancocin, Vancoled) => Adult : 1 g or 15 mg/kg IV q12h, Pediatric : 30-40 mg/kg/d IV in 2 doses

· Moxifloxacin (Avelox) => Adult : 400 mg PO/IV qd, Pediatric : <18 years: Not recommended , >18 years: Administer as in adults

· Amoxicillin (Amoxil, Trimox, Biomox) => Adult : 500 mg to 1 g PO q8h, Pediatric : 0-45 mg/kg/d PO q8h divided. [6,9]

Pasien yang telah mendapatkan terapi dan mulai menunjukkan adanya kemajuan hendaknya tetap dilakukan follow up agar proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik. Adapaun yang perlu diperhatikan diantaranya minum air secukupnya, hindari merokok, imbangi nutrisi dan lain-lain. Penatalaksanaan pasien pada kasus diatas adalah dengan pemberian ambroksol dengan dosis 3 kali sehari masing-masing 1 tablet. Selain itu, diberikan juga obat dari golongan psodoefedrin dengan dosis 3 kali sehari masing-masing 1 tablet. Namun pasien pada kasus diatas, belum dilakukan suatu follow up mengingat pasien ini baru pertama kali datang ke poliklinik THT Rumah Sakit Sanglah. Tetapi pasien diatas telah disarankan untuk mengikuti follow up dengan datang kembali ke poliklinik THT RS Sanglah setiap 1 bulan.

2.8 Prognosis dan Komplikasi

Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya. [1,2]

Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain abscess, meningitis) dan mucocele formation. [1,2,3]


BAB III

KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dan dari hasil anamnesis yang kami dapatkan dari pasien seperti utama hidung tersumbat, sering pilek yang hilang timbul, dan telinga terasa penuh, serta dari hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dan hasil dari pemeriksaan penunjang, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pasien tersebut menderita rhinosinusitis. Adapun penatalaksanaan yang dilakukan kepada pasien adalah pemberian obat yang terdiri dari ambroksol dengan dosis 3 kali sehari masing-masing 1 tablet. Selain itu, diberikan juga obat dari golongan psodoefedrin dengan dosis 3 kali sehari masing-masing 1 tablet. Adapun follow up yang akan dilaksanakan pada pasien ini adalah dengan control tiap 1 bulan. Prognosis pasien ini baik apabila pasien rutin mengikuti follow up dan taat terhadap pengobatan yang diberikan. Untuk komplikasinya bisa berupa orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis, intracranial extension (brain abscess, meningitis) dan mucocele formation