Kamis, 27 Oktober 2011
Kamis, 28 April 2011
Manfaat Kedelai dalam Praktisnya SOYJOY
Kedelai merupakan pangan yang kaya akan protein nabati dan memiliki banyak khasiat yang baik untuk kesehatan tubuh. Dilihat dari sejarahnya, ternyata Kedelai yang bernama latin Glycine Max ini sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk ke Indonesia terutama Pulau Jawa pada tahun 1750. Saat ini, pengolahan kedelai pun sudah berbagai macam. Tidak hanya menjadi tahu dan tempe, kini karena khasiatnya kedelai pun dijadikan cemilan yang enak dan sehat dengan berbagai macam rasa. Salah satu produsen cemilan kedelai yang paling terkenal di Indonesia adalah SOYJOY, Fruit Soy Bar.
Tidak heran kedelai menjadi makanan yang populer terutama di Asia. Menurut data statistik, rata-rata per-hari konsumsi kedelai diperkirakan 25 – 45 mg dan Jepang merupakan negara yang mengonsumsi pangan ini paling banyak yakni 200 mg/hari. Sedangkan di negara Barat konsumsinya tidak terlalu banyak yakni rata-rata kurang dari 5 mg/hari.
Nah, sebenarnya apa sih kandungan yang ada dalam kedelai ini? Mengapa biji-bijian ini bisa menjadi sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita?
Sumber : www.soyjoy.co.id Picture by : Indira Dharmasamitha |
Pernahkah anda mendengar Isoflavon? Isoflavon merupakan zat yang serupa dengan estrogen akan tetapi memiliki gugus yang agak berbeda. Kandungan inilah yang dipercaya oleh peneliti-peneliti dunia yang memberikan berbagai macam khasiat kedelai, tentunya selain protein dan lemak nabati, vitamin, mineral, dan zat bermanfaat lainnya yang ada di kedelai.
1. Kedelai dan Jantung
Kedelai mengandung isoflavon yang terdiri dari protein-protein kedelai yakni genistein, daidzein, dan glicitenin yang ampuh menurunkan kolesterol jahat atau LDL dan trigliserida yang jika tertimbun jumlahnya dalam pembuluh darah dapat menyebabkan stroke dan penyakit jantung koroner. Selain itu isoflavon membantu peningkatan kolesterol baik atau HDL dalam tubuh dan menjaga fleksibilitas pembuluh darah.
2. Kedelai dan Kesehatan Tulang
Seperti yang telah dijelaskan di atas, isoflavon merupakan suatu zat yang kerjanya seperti hormon estrogen yang berfungsi dalam menjaga kesehatan tulang. Dari studi yang telah dilakukan penambahan konsumsi kalsium dan estrogen terhadap 72 wanita pasca menopause menunjukan adanya pengurangan penurunan massa tulang. Oleh karena itu konsumsi susu dan kedelai sangat baik untuk menurunkan resiko terjadinya osteoporosis.
3. Kedelai dan Menopause
Menopause terjadi akibat dari menurunnya level estrogen. Isoflavon terbukti mampu meniru kinerja hormon estrogen sehingga keluhan pra dan pasca menopause seperti rasa gerah dan keringat di malam hari berkurang. Selain itu, isoflavon yang memiliki efek anti-esterogenic saat jumlah estrogen berlebihan mampu mengurangi resiko terjadinya kanker payudara pada wanita.
4. Kedelai dan Kanker
Kanker terjadi karena pertumbuhan sel yang abnormal yang menyebar dan mengambil nutrisi organ lainnya sehingga dapat menyebabkan organ failure. Pada kedelai terdapat senyawa-senyawa penting yang berfungsi sebagai zat anti-kanker yakni : inhibitor protease, phitat, saponin, phitosterol, asam lemak omega-3, dan isoflavon yang dapat menurunkan resiko insiden kanker terutama kanker payudara pada wanita dan kanker prostat pada pria.
5. Kedelai dan Kecantikan
Kinerja isoflavon yang terdapat dalam kedelai mampu meniru kerja estrogen dalam penghambatan penuaan dini dan tetap menjaga kekenyalan kulit karena dirangsangnya pembentukan kolagen pada kulit.
6. Kedelai dan Glycemic Index (GI)
Glikemik Indeks (GI) merupakan tingkatan pangan berdasarkan kemampuannya untuk meningkatkan kadar gula darah. GI memiliki skala 1-100 yang terbagi menjadi 3 kriteria yakni :
a. GI Rendah : 0 – 55
b. GI Sedang : 56 – 69
c. GI Tinggi : 70 – 100
Jenis pangan kacang polong (beans) dimana kedelai termasuk di dalamnya memiliki Glikemiks Indeks yang rendah yang artinya pangan ini lambat dalam menaikan gula darah sehingga aman dikonsumsi bagi penderita Diabetes.
Sumber : www.soyjoy.co.id Picture by : Indira Dharmsamitha |
7. Kedelai dan Berat Badan
Mengonsumsi cemilan yang mengandung kedelai tentunya tidak akan membuat berat badan anda bertambah karena kandungannya yang hampir 50% adalah protein nabati. Saat ini, pengolahan pangan kedelai semakin beragan dan hadirnya SOYJOY tentunya akan lebih memudahkan Anda untuk menikmati cemilan sehat tanpa perlu repot-repot lagi mengolah kedelai Anda di rumah terlebih dahulu. Mengonsumsi SOYJOY yang kaya akan protein nabati kedelai disaat jadwal antara makan pagi-siang atau siang-malam tentunya akan memberikan rasa kenyang lenih awal sehingga anda akan cenderung mengurangi konsumsi karbohidrat pada saat jam makan utama anda. Oleh karena itu, cemilan kedelai ini tentunya akan tetap menjaga berat badan ideal Anda dan tentunya kesehatan Anda se-keluarga.
Tahukah Anda sekarang tidak perlu repot-repot lagi mengolah kedelai di rumah untuk membekali diri atau orang kesayangan Anda segala manfaat kedelai?
Pernahkah Anda mendengar SOYJOY? Mengapa SOYJOY merupakan solusi praktis jika Anda menginginkan segala manfaat kedelai?
SOYJOY memberikan segala manfaat kedelai seperti yang diuraikan di atas dalam satu bungkus kecil praktis yang bisa Anda bawa kemana saja, kapan saja, dan saat apa pun juga tanpa khawatir dengan berat badan Anda karena SOYJOY adalah cemilan sehat yang tidak akan membuat anda gemuk.
Manfaat Kedelai dalam Praktisnya SOYJOY Photo by : Indira Dharmasamitha |
Praktis kan?
MENGAPA SOYJOY?
Sumber :
Koswara, Sutrisno. Isoflavon, Senyawa Multi-Manfaat dalam Kedelai. Institut Pertanian Bogor. 2006
Arisman, Dr, MB. Gizi dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : EGC. 2009
Kole L, Giri B, Manna SK. Biochanin-A, an Isoflavon showed anti-proliferative and anti-inflammatory activities through the inhibition of iNOS expression, p38-MAPK and ATF 2 phosphorylation and blocking NFkB nuclear translocation. Eur J Pharmacol. 2011 Feb.
Zavodnik LB, Shkodich AP, Wielanek M. Antioxidative effects of Isoflavon genisteine-8-C-glycoside in vitro and in vivo. Eksp Klin Farmakol. 2006
Kole L, Giri B, Manna SK. Biochanin-A, an Isoflavon showed anti-proliferative and anti-inflammatory activities through the inhibition of iNOS expression, p38-MAPK and ATF 2 phosphorylation and blocking NFkB nuclear translocation. Eur J Pharmacol. 2011 Feb.
Zavodnik LB, Shkodich AP, Wielanek M. Antioxidative effects of Isoflavon genisteine-8-C-glycoside in vitro and in vivo. Eksp Klin Farmakol. 2006
Label:
manfaat kedelai,
SOYJOY,
SOYJOY Healthylicious 2
Jumat, 25 Maret 2011
ANOREKSIA NERVOSA
BAB I
PENDAHULUAN
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Kelainan ini ditandai dengan perubahan gambaran tubuh, ketakutan yang luar biasa akan kegemukan, penolakan untuk mempertahankan berat badan yang normal dan hilangnya siklus mentruasi pada wanita. Penderita yang umumnya terjadi pada wanita biasanya mengalami gangguan makan, berupa aktifitas untuk menguruskan badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja melalui kontrol yang ketat.1
Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan pada sampai 4% pelajar remaja dan dewasa muda. Sekitar 95% penderita adalah wanita, kelainan ini biasanya terjadi pada masa remaja dan terkadang pada masa dewasa. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1% gadis remaja Biasanya menyerang orang-orang golongan sosial ekonomi menengah ke atas. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. 1,2
Penderita anoreksia nervosa akan berusaha untuk mengurangi jumlah konsumsinya sehingga akan terjadi ketidakseimbangan nutrisi yang akan mengakibatkan gangguan fungusional dalam tubuh dan keadaan ini dapat mengancam jiwa penderita. Gangguan fungisional tersebut seperti gangguan pada jantung dan tekanan darah, osteoporosis, berkurangnya massa otot, dehidrasi berat, lemas, rambut dan kulit terasa kering, pertumbuhan yang terganggu. Namun dampak psikis juga terpengaruhi, seperti kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, tidak percaya diri, dan depresi. Dampak fisik maupun psikis yang terjadi akibat gangguan makan tersebut memerlukan tindakan pertolongan yang cepat agar mengurangi dampak buruk dari gangguan ini. 1,2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Ciri khas kelainan ini adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu atau dipertahankan oleh penderita.1 Untuk acuan pasti, dibutuhkan hal-hal seperti berikut:
• Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri, dengan menghindari makanan yang mengandung lemak, dan salah satunya sebagai berikut:
1. Merangsang muntah oleh diri sendiri
2. Menggunakan pencahar
3. Olah raga yang berlebihan
4. Memakai obat penekan nafsu makan dan diuretika
• Ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah
• Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan pada pria kehilangan minat dan potensi seksual
• Jika onset terjadi pada masa pubertas,maka masa pubertas akn terhambat dan juga tertahan.2
2.2. Epidemiologi
Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan sampai 4 persen pelajar remaja dan dewasa muda. Anorexia nervosa telah dilaporkan lebih seing terjadi selama beberapa dekade belakangan ini dibandingkan dimasa lalu, dengan meningkatnya laporan gangguan pada anak perempuan pra pubertas dan pada laki-laki. Usia yang tersering untuk onset gangguan adalah pada awal 20 tahun. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1 persen gadis remaja. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Prevalensi wanita muda yang memiliki bebrapa gejala anoreksia nervosa tetapi yang tidak memenuhi criteria diagnostik diperkirakan adalah mendekati 5 persen. Walaupun gangguan awalnya dilaporkan paling sering terjadi pada kelompok kelas yang tinggi, survei epidemiologi terakhir tidak menunjukan distribusi tersebut. Tampaknya gangguan ini paling sering pada negara maju, dan mungkin ditemukan dengan frekuensi tertinggi pada wanita muda yang profesinya memerlukan kekurusan, seperti model atau penari balet.3
2.3. Etiologi
Penyebab anoreksia belum diketahui pasti, tetapi faktor biologis, sosial dan psikologi tampaknya memegang peranan penting dalam penyebab anoreksia nervosa.
a. Faktor biologis
Opiat endogen mungkin memberikan konstribusi pada penyangkalan dan keadaan lapar pasien anoreksia nervosa. Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan berat badan yang berarti pada beberapa pasien yang diberi opiat antagonis.
Kelaparan menyebabkan banyak perubahan biokimia, beberapa diantaranya juga ditemukan pada pasien depresi, seperti hiperkortisolemia dan nonsupresi oleh deksametason. Terjadi penekanan fungsi tiroid, amenore, yang mencerminkan penurunan kadar hormonal. Perubahan hormonal ini yang mengendalikan masalah mood, dan selera makan. Kelainan tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian makanan kembali.3
b. Faktor sosial
Penderita menemukan dukungan untuk tindakan mereka dalam masyarakat yang menekankan kekurusan dan latihan. Tidak berkumpul dengan keluarga adalah spesifik pada anoreksia nervosa. Pasien dengan anoreksia nervosa kemungkinan memiliki riwayat keluarga depresi, ketergantungan alcohol, atau suatu gangguan makan.3
c. Faktor psikologis dan psikodinamis
Anoreksia nervosa tampaknya merupakan suatu reaksi terhadap kebutuhan pada remaja untuk menjadi tuntutan remaja untuk kebebasan yang lebih dan peningkatan fungsi sosial dan sexual mereka. Pasien anoreksia nervosa umumnya kurang percaya diri, banyak dari mereka merasa tubuh mereka dibawah kontrol orang tua mereka. Melaporkan diri sendiri mungkin merupakan usaha untuk mendapat pengakuan sebagai orang yang spesial dan unik.
Klinis psikoanalitik yang mengobati pasien anoreksia nervosa umumnya setuju bahwa pasien-pasien muda tidak dapat berpisah secara psikologi dengan ibu mereka. Pasien pasien anoreksia nervosa merasa keinginan makan adalah suatu kerakusan dan tidak bisa diterima. Oleh karena itu, keinginan tersebut harus diabaikan. Orang tua merespon hal ini dengan ketakutan apakah anak mereka akan makan dan pasien mengabaikan ketakutan orang tua mereka.3
2.4. Patofisiologi
Anoreksia nervosa merupakan akibat dari interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan social, yang cenderung mengenai wanita dibanding pria. Beberapa penelitian juga manyatakan bahwa angka kelainan ini lebih tinggi pada kembar monozigot dibanding dizigotik, yang mengindikasikan bahwa faktor biologis berperan penting.4
Secara psikologis, pasien praremaja yang mengidap anoreksia nervosa memiliki insiden dari pemorbid gangguan cemas yang tinggi. Munculnya penyakit ini selama pubertas telah menimbulkan teori bahwa, dengan menerapkan kontrol terhadap berat badan dan asupan makanan, remaja berusaha untuk mengkompensasi kekurangan otonomi dan individualitas.
Hipotesis neurobiologist mengungkapkan bahwa ganggguan jalur serotonergik pada otak memediasi perkembangan anoreksia nervosa dan dapat mempengaruhi koeksistensi dari gangguan psikologis yang lainnya.4
Berbagai faktor psikologis telah terbukti berhubungan dengan anoreksia nervosa. Rasa harga diri yang rendah sering kali berperan penting dalam munculnya gangguan ini. Penurunan berat badan seringkali dipandang sebagai suatu pencapaian dan harga diri akan menjadi sangat bergantung pada ukuran tubuh. Terdapat hubungan yang jelas antara gangguan makan dengan gangguan mood. Pada beberapa kasus, depresi mayor dapat terjadi karena kurangnya nutrisi. Individu dengan anoreksia nervosa akan mengalami penurunan spontanitas dalam situasi sosial dan mengalami pembatasan emosional.4 Pasien dengan gangguan anoreksia nervosa cenderung memiliki persepsi “kegemukan meskipun berat badan normal ataupun cenderung kurus”. Berbagai usaha untuk mengoreksi persepsi ini melalui retriksi asupan makan atau meminum obat pencahar yang dapat mengakibatkan malnutrisi yang progresif dan juga kelaparan. Malnutrisi yang diikuti dengan kelaparan akan mengakibatkan terjadinya defisiensi protein, vitamin, hipoglikemia dan ganngguan pada berbagai system organ. Selain itu kelaparan juga dapat memicu pelepasan dari opioid endogen, hiperkortisolemia, dan supresi dari fungsi tiroid. Gangguan nuroendokrin mengakibatkan terjadinya hambatan puberitas, amenorrhea, anovulasi, level estrogen yang rendah, peningkatan growth hormone, penurunan anti diuretic hormone (ADH), hiperkarotenemiaaa dan hipotermia. Penurunan kadar gonadotropin dan hypogonadism juga dapat terjadi pada pria yang mengalami anoreksia nervosa.4
Efek terhadap kardiovaskulaar antara lain adanya mitral valve prolapsed, disiritmia supraventrikular dan ventricular, bradikardia, hipotensi orthostatic dan shok akibat congestive heart failure. Gangguan renal endokrin yang terlibat antara lain penuruan laju filtrasi glomerolus, peningkatan BUN, edema, asidosis dengan dehidrasi, hipokalemia, dan hiperaldosteronism. Ganggua pencernaan meliputi konstipasi, penghambatan pengosongan lambung dan dilasi lambung. Pasien yangmenginduksi muntah juga akan mengakibatkan erosi enamel dental, trauma palatal, pembesaran parotid, esofagitis, Mallory-Weiss lesions, dan peningkatan kadar transaminase.4
2.5. Manifestasi klinis
Anoreksia memiliki efek yang membahayakan baik dari segi psikologis maupun tingkah laku seseorang dan dapat mempengaruhi anggota keluarganya. Pasien yang menderita anoreksia akan mengalami penurunan berat badan yang dramatis dan bisa menyebabkan depresi dan penarikan diri dari lingkungan sosialnya.5
Berikut manifestasi klinis individual dengan anoreksia nervosa dari segi psikologis dan tingkah lakunya :
- Depresi
- Penarikan diri dari lingkungan sosial
- Sensitif
- Mudah tersinggung
- Gangguan tidur
- Mudah lelah
- Penurunan konsentrasi dan atensi
- Obsesi terhadap bentuk tubuh, makanan, dan berat badan
- Gangguan mood
- Cemas
- Gangguan personalitas
Gejala anoreksia biasanya berhubungan dengan diagnosis utama lainnya seperti gangguan depresi, mood dan personalitas. Gejala komplikasi anoreksia nervosa biasanya disebabkan oleh kelaparan sehingga mengakibatnya terganggunya organ-organ dalam tubuh.5
a. Gejala system kardiovaskular dan pembuluh darah : bradikardia, penurunan tekanan darah, aritmia.
b. Gejala system GI : konstipasi, nyeri abdomen.
c. Gejala system endokrin : gangguan siklus haid atau ammenorhea.
d. Gejala system musculoskeletal : ostopenia dan peningkatan resiko fraktur tulang.
e. Gejala system hemato : anemia dan leucopenia yang menyebabkan peningkatan resiko infeksi.
f. Gejala system hepato : peningkatan rasio enzim ALT dan GGT, disfungsi hati akut.
Pada pemeriksaan fisik orang dengan Anorexia akan ditemukan tanda-tanda berikut :
- Penurunan berat badan yang drastis.
- Kulit kering dan bersisik.
- Rambut berbulu halus pada wajah, punggung, lengan, dan kaki.
- Sering muntah.
- Hilangnya gigi karena seringnya melakukan pengkikisan enamel gigi.
- Tergangunya suhu tubuh.
Gambar 1. Efek anoreksia pada seluruh tubuh.
2.6. Diagnosis anoreksia nervosa
Untuk suatu diagnosis yang pasti, dibutuhkan semua hal-hal seperti dibawah ini
a. Berat badan tetap dipertahankan 15% dibawah yang seharusnya (baik yang berkurang maupun yang tak pernah dicapai), atau “Quetelet’s body-mass index” adalah 17,5 atau kurang (Quetelet’s body-mass index = berat [kg]/ tinggi [m]2 ). Pada penderita pra-pubertas bisa saja gagal mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan.
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal yang berikut ini:
- Merangsang muntah oleh diri sendiri;
- Menggunakan pencahar (urus-urus);
- Olah raga nerlbihan;
- Memakai obat penekan nafsu makan dan / atau diuretika
c. Terdapat distorsi “body-image” dalam ben tuk psikopatologi yang spesifik dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah.
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan “hypothalamic-ptuitary-gonadal axis” dengan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan pada pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual. (suatu pengecualian adalah pendarahan vagina yang menetap pada wanita yang anoreksia yang menerima terapi hormon, umumnya dalam bentuk pil kontrasepsi). Juga dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya kadar kortisol, perubahan metabolisme periferal dari hormon tiroid, dan sekresi insulin abnormal.
e. Jika onset terjadinya pada masa pra-pubertas, perkembangan pubertas tertunda, atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak perempuan buah dadanya tidak berkembang dan terdapat amenore primer; pada anak laki-laki genitalnya tetap kecil). Pada penyembuhan, pubertas kembali normal, tetapi “menarche” terlambat.5,6
Kriteria nyata untuk anoreksia nervosa ditemukan di asosiasi psikiatris Amerika Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Ada empat kriteria dasar untuk mendiagnosis anoreksia nervosa yang memiliki karakteristik:
1. Penolakan untuk memelihara berat badan pada atau di atas minimal berat badan normal menurut umur dan tingginya ( pemeliharaan suatu berat badan kurang dari 85% dari berat badan yang diharapkan).
2. Suatu ketakutan yang tinggi untuk meningkatkan berat badan atau menjadi gemuk, sehingga orang tersebut menjadi underweight.
3. Pesepsi diri yang nyata sekali disimpangkan, penekanan yang berlebihan pada berat badan di dalam penilaian diri, dan berat badan yang berkurang tidak diakui dengan sepenuhnya.
4. Pada wanita-wanita yang mulai siklus haid mereka, sedikitnya tiga periode yang berurutan tertunda (amenorrhea), atau periode haid terjadi hanya setelah hormon diatur.
DSM-IV-TR lebih lanjut mengidentifikasi dua subtipe dari anoreksia nervosa. Pada tipe peminum minuman keras atau purging (binge-eating atau purging), individu secara teratur terlibat dalam meminum minuman keras atau perilaku purging yang mengakibatkan muntah yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau penyalahgunaan dari obat pencuci perut, obat diuretika, atau enema sepanjang episode dari anoreksia. Pada tipe restriksi, individu sangat membatasi masukan makanan tetapi tidak secara teratur melibatkan perilaku yang tampak pada tipe binge-eating.5,6
Gambar 2. Gambaran orang dengan anoreksia nervosa.
2.7. Penatalaksanaan pada anoreksia nervosa
Sejak pasien telah didiagnosis anoreksia nervosa, pembentukan tim dalam mengobati pasien merupakan tindakan awal yang diperlukan. Anggota tim tidak hanya terdiri dari dokter, melainkan psikolog, konselor dan dietitans. Dukungan keluarga juga menjadi penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan pasien. Penatalaksanaan pasien anoreksia nervosa terdiri dari 3 langkah, yang pertama adalah mengembalikan kondisi pasien agar lebih baik, kedua memulai menasihati psien untuk memakan lebih banyak lagi, dan mengubah pola pikir pasien terhadap dirinya dan makanan.6
Pada pasien yang mengalami penurunan berat badan yang parah hingga menganggu fungsi organ, pasien harus dibawa ke rumah sakit untuk mengobati malnutrisinya, pemberian makanan melalui intravena ataupun tube sangat diperlukan.Hal ini biasanya dibantu oleh seorang dietitans. Penambahan berat badan 1-3 pound per minggu merupkan tujuan utama dalam mengobati malnutrisi. Kadang meningkatkan berat badan dilakukan dengan cara mengatur waktu makan, mengurangi aktifitas, dan meningkatkan aktivitas sosial. Pada seseorang yang telah menderita anoreksia selama bertahun-tahun, penatalaksanaan di lakukan dengan tujuan memperlambat atau mencegah kambuhnya gejala yg semakin parah.Selain mengobati malnutrisi pasien, penyakit sekunder yang mungkin telah mengganggu fisiologi organ tertentu juga harus ditangani.6
Walaupun tidak ada obat yang diidentifikasi dapan secara definitif mengurangi paksaan untuk lapar, obat-obat seperti olanzapine (Zyprexa, Zydis) , risperidone (Risperdal), dan quetiapine (Seroquel) merupakan obat-obat yang sering digunakan untuk menstabilkan mood dan biasa digunakan untuk mengobati schizoprenia mungin dapat berguna dalam mengobati anoreksia. Obat-obat ini membantu mrningkatkan berat badan dan menstabilkan gejala-gejala emosional seperti gelisah dan depresi. Beberapa obat anti depresant selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga membatu mempertahankan berat badan yang telah naik serta memiliki keuntungan terhadap menstabilkan emosi pada pasien anoreksia.7
Komponen kedua yang penting dalam penatalaksanaan anoreksia adalah konseling. Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang psikiater atau psikolog. Konseling sangat penting dalam penatalaksanaan anoreksia , tujuannya adalah mengidentifikasi pemikiran negatif yang menyebabkan gangguan makan dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih sehat serta mengurangi pemikiran-pemikiran yang salah. Tujuan lain dalam koseling adalah mengajarkan pasien dalam menghadapi masalah dengan orang lain, stress dengan cara mengatur emosi tanpa menghancurkan diri sendiri.
Beberapa contoh lain dari terapi psikologi juga digunakan dalam megobati pasien anoreksia, seperti terapi individual, terapi perilaku cognitif, terapi grub dan terapi keluarga. Terapi ini pernah d laporkan berhasil dalam pengobatan anoreksia.Pada orang dewasa, menurut penelitian Maudsley, terapi keluarga merupakan cara yang paling efektif dibanding terapi lainnya, suatu pedoman dari tim kesehatan mental profesional juga dikatakan keluarga membantu pasien lebih mencintai makanan dengan cara-cara yang sehat.6
Konseling pada pasien juga diarahkan pada masalah yang melatarbelakangi pasien menderita anoreksia, seperti alasan perfectionism (terlalu mengharapkan kesempurnaan) dan persepsi pribadi yang salah. Masalah keluarga juga bisa menjadi penyebabnya. Edukasi nutrisi diperlukan untuk memberikan alternatif management berat badan pada pasien. Grub konseling ini membantu pasien menjalani peroses perbaikan. Tujuan dari konseling ini adalah membatu pasien menerima dirinya dan menjalani kehidupan sehat baik dari segi psikis ataupun emosional.6
BAB III
KESIMPULAN
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Ciri khas kelainan ini adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu atau dipertahankan oleh penderita.1 Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan sampai 4 persen pelajar remaja dan dewasa muda. Anorexia nervosa telah dilaporkan lebih seing terjadi selama beberapa dekade belakangan ini dibandingkan dimasa lalu, dengan meningkatnya laporan gangguan pada anak perempuan pra pubertas dan pada laki-laki. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1 persen gadis remaja. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Penyebab anoreksia belum diketahui pasti, tetapi faktor biologis, sosial dan psikologi tampaknya memegang peranan penting dalam penyebab anoreksia nervosa. 3
Anoreksia nervosa merupakan akibat dari interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan social, yang cenderung mengenai wanita dibanding pria. Beberapa penelitian juga manyatakan bahwa angka kelainan ini lebih tinggi pada kembar monozigot dibanding dizigotik, yang mengindikasikan bahwa faktor biologis berperan penting.4 Secara psikologis, pasien praremaja yang mengidap anoreksia nervosa memiliki insiden dari pemorbid gangguan cemas yang tinggi. Hipotesis neurobiologist mengungkapkan bahwa ganggguan jalur serotonergik pada otak memediasi perkembangan anoreksia nervosa dan dapat mempengaruhi koeksistensi dari gangguan psikologis yang lainnya.4 Berbagai faktor psikologis telah terbukti berhubungan dengan anoreksia nervosa. Rasa harga diri yang rendah sering kali berperan penting dalam munculnya gangguan ini. Penurunan berat badan seringkali dipandang sebagai suatu pencapaian dan harga diri akan menjadi sangat bergantung pada ukuran tubuh. Terdapat hubungan yang jelas antara gangguan makan dengan gangguan mood. Pada beberapa kasus, depresi mayor dapat terjadi karena kurangnya nutrisi. Individu dengan anoreksia nervosa akan mengalami penurunan spontanitas dalam situasi sosial dan mengalami pembatasan emosional.
Pasien yang menderita anoreksia akan mengalami penurunan berat badan yang dramatis. Manifestasi klinis individual dengan anoreksia nervosa dari segi psikologis dan tingkah lakunya: depresi, penarikan diri dari lingkungan social, sensitive, mudah tersinggung, gangguan tidur, mudah lelah, penurunan konsentrasi dan atensi, obsesi terhadap bentuk tubuh, makanan, dan berat badan, gangguan mood, cemas, gangguan personalitas. Pada pemeriksaan fisik orang dengan anoreksia akan ditemukan tanda-tanda berikut: penurunan berat badan yang drastis, kulit kering dan bersisik, rambut berbulu halus pada wajah, punggung, lengan, dan kaki, sering muntah, hilangnya gigi karena seringnya melakukan pengkikisan enamel gigi, tergangunya suhu tubuh.5
DSM-IV-TR lebih lanjut mengidentifikasi dua subtipe dari anoreksia nervosa. Pada tipe peminum minuman keras atau purging (binge-eating atau purging), individu secara teratur terlibat dalam meminum minuman keras atau perilaku purging yang mengakibatkan muntah yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau penyalahgunaan dari obat pencuci perut, obat diuretika, atau enema sepanjang episode dari anoreksia. Pada tipe restriksi, individu sangat membatasi masukan makanan tetapi tidak secara teratur melibatkan perilaku yang tampak pada tipe binge-eating.5,6
Sejak pasien telah didiagnosis anoreksia nervosa, pembentukan tim dalam mengobati pasien merupakan tindakan awal yang diperlukan. Anggota tim tidak hanya terdiri dari dokter, melainkan psikolog, konselor dan dietitans. Dukungan keluarga juga menjadi penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan pasien. Penatalaksanaan pasien anoreksia nervosa terdiri dari 3 langkah, yang pertama adalah mengembalikan kondisi pasien agar lebih baik, kedua memulai menasihati psien untuk memakan lebih banyak lagi, dan mengubah pola pikir pasien terhadap dirinya dan makanan.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahkonen, Anna Keski. 2007. Epidemiology and Course of Anoreksia Nervosa in the Community. Am J Psychiatry 2007; 164:1259–126.
2. National Eating Disorder Association. 2005. Anoreksia Nervosa. www.natonaleatingdisorder.org.
3. Kaplan Sadock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. 1997. Jakarta: Binapura Aksara.
4. Cecily Lynn Betz, Linda A. Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri ed 5. 2009. Jakarta: EGC.
5. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan. 1993.
6. Diagnostic Criteria from DSM IV. 1st ed. Washington: American Psychiatric Association. 1994.
7. Katzung: Basic and Clinical Pharmacology, 9th ed. Lange. 2005.
PENDAHULUAN
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Kelainan ini ditandai dengan perubahan gambaran tubuh, ketakutan yang luar biasa akan kegemukan, penolakan untuk mempertahankan berat badan yang normal dan hilangnya siklus mentruasi pada wanita. Penderita yang umumnya terjadi pada wanita biasanya mengalami gangguan makan, berupa aktifitas untuk menguruskan badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja melalui kontrol yang ketat.1
Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan pada sampai 4% pelajar remaja dan dewasa muda. Sekitar 95% penderita adalah wanita, kelainan ini biasanya terjadi pada masa remaja dan terkadang pada masa dewasa. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1% gadis remaja Biasanya menyerang orang-orang golongan sosial ekonomi menengah ke atas. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. 1,2
Penderita anoreksia nervosa akan berusaha untuk mengurangi jumlah konsumsinya sehingga akan terjadi ketidakseimbangan nutrisi yang akan mengakibatkan gangguan fungusional dalam tubuh dan keadaan ini dapat mengancam jiwa penderita. Gangguan fungisional tersebut seperti gangguan pada jantung dan tekanan darah, osteoporosis, berkurangnya massa otot, dehidrasi berat, lemas, rambut dan kulit terasa kering, pertumbuhan yang terganggu. Namun dampak psikis juga terpengaruhi, seperti kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, tidak percaya diri, dan depresi. Dampak fisik maupun psikis yang terjadi akibat gangguan makan tersebut memerlukan tindakan pertolongan yang cepat agar mengurangi dampak buruk dari gangguan ini. 1,2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Ciri khas kelainan ini adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu atau dipertahankan oleh penderita.1 Untuk acuan pasti, dibutuhkan hal-hal seperti berikut:
• Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri, dengan menghindari makanan yang mengandung lemak, dan salah satunya sebagai berikut:
1. Merangsang muntah oleh diri sendiri
2. Menggunakan pencahar
3. Olah raga yang berlebihan
4. Memakai obat penekan nafsu makan dan diuretika
• Ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah
• Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan pada pria kehilangan minat dan potensi seksual
• Jika onset terjadi pada masa pubertas,maka masa pubertas akn terhambat dan juga tertahan.2
2.2. Epidemiologi
Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan sampai 4 persen pelajar remaja dan dewasa muda. Anorexia nervosa telah dilaporkan lebih seing terjadi selama beberapa dekade belakangan ini dibandingkan dimasa lalu, dengan meningkatnya laporan gangguan pada anak perempuan pra pubertas dan pada laki-laki. Usia yang tersering untuk onset gangguan adalah pada awal 20 tahun. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1 persen gadis remaja. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Prevalensi wanita muda yang memiliki bebrapa gejala anoreksia nervosa tetapi yang tidak memenuhi criteria diagnostik diperkirakan adalah mendekati 5 persen. Walaupun gangguan awalnya dilaporkan paling sering terjadi pada kelompok kelas yang tinggi, survei epidemiologi terakhir tidak menunjukan distribusi tersebut. Tampaknya gangguan ini paling sering pada negara maju, dan mungkin ditemukan dengan frekuensi tertinggi pada wanita muda yang profesinya memerlukan kekurusan, seperti model atau penari balet.3
2.3. Etiologi
Penyebab anoreksia belum diketahui pasti, tetapi faktor biologis, sosial dan psikologi tampaknya memegang peranan penting dalam penyebab anoreksia nervosa.
a. Faktor biologis
Opiat endogen mungkin memberikan konstribusi pada penyangkalan dan keadaan lapar pasien anoreksia nervosa. Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan berat badan yang berarti pada beberapa pasien yang diberi opiat antagonis.
Kelaparan menyebabkan banyak perubahan biokimia, beberapa diantaranya juga ditemukan pada pasien depresi, seperti hiperkortisolemia dan nonsupresi oleh deksametason. Terjadi penekanan fungsi tiroid, amenore, yang mencerminkan penurunan kadar hormonal. Perubahan hormonal ini yang mengendalikan masalah mood, dan selera makan. Kelainan tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian makanan kembali.3
b. Faktor sosial
Penderita menemukan dukungan untuk tindakan mereka dalam masyarakat yang menekankan kekurusan dan latihan. Tidak berkumpul dengan keluarga adalah spesifik pada anoreksia nervosa. Pasien dengan anoreksia nervosa kemungkinan memiliki riwayat keluarga depresi, ketergantungan alcohol, atau suatu gangguan makan.3
c. Faktor psikologis dan psikodinamis
Anoreksia nervosa tampaknya merupakan suatu reaksi terhadap kebutuhan pada remaja untuk menjadi tuntutan remaja untuk kebebasan yang lebih dan peningkatan fungsi sosial dan sexual mereka. Pasien anoreksia nervosa umumnya kurang percaya diri, banyak dari mereka merasa tubuh mereka dibawah kontrol orang tua mereka. Melaporkan diri sendiri mungkin merupakan usaha untuk mendapat pengakuan sebagai orang yang spesial dan unik.
Klinis psikoanalitik yang mengobati pasien anoreksia nervosa umumnya setuju bahwa pasien-pasien muda tidak dapat berpisah secara psikologi dengan ibu mereka. Pasien pasien anoreksia nervosa merasa keinginan makan adalah suatu kerakusan dan tidak bisa diterima. Oleh karena itu, keinginan tersebut harus diabaikan. Orang tua merespon hal ini dengan ketakutan apakah anak mereka akan makan dan pasien mengabaikan ketakutan orang tua mereka.3
2.4. Patofisiologi
Anoreksia nervosa merupakan akibat dari interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan social, yang cenderung mengenai wanita dibanding pria. Beberapa penelitian juga manyatakan bahwa angka kelainan ini lebih tinggi pada kembar monozigot dibanding dizigotik, yang mengindikasikan bahwa faktor biologis berperan penting.4
Secara psikologis, pasien praremaja yang mengidap anoreksia nervosa memiliki insiden dari pemorbid gangguan cemas yang tinggi. Munculnya penyakit ini selama pubertas telah menimbulkan teori bahwa, dengan menerapkan kontrol terhadap berat badan dan asupan makanan, remaja berusaha untuk mengkompensasi kekurangan otonomi dan individualitas.
Hipotesis neurobiologist mengungkapkan bahwa ganggguan jalur serotonergik pada otak memediasi perkembangan anoreksia nervosa dan dapat mempengaruhi koeksistensi dari gangguan psikologis yang lainnya.4
Berbagai faktor psikologis telah terbukti berhubungan dengan anoreksia nervosa. Rasa harga diri yang rendah sering kali berperan penting dalam munculnya gangguan ini. Penurunan berat badan seringkali dipandang sebagai suatu pencapaian dan harga diri akan menjadi sangat bergantung pada ukuran tubuh. Terdapat hubungan yang jelas antara gangguan makan dengan gangguan mood. Pada beberapa kasus, depresi mayor dapat terjadi karena kurangnya nutrisi. Individu dengan anoreksia nervosa akan mengalami penurunan spontanitas dalam situasi sosial dan mengalami pembatasan emosional.4 Pasien dengan gangguan anoreksia nervosa cenderung memiliki persepsi “kegemukan meskipun berat badan normal ataupun cenderung kurus”. Berbagai usaha untuk mengoreksi persepsi ini melalui retriksi asupan makan atau meminum obat pencahar yang dapat mengakibatkan malnutrisi yang progresif dan juga kelaparan. Malnutrisi yang diikuti dengan kelaparan akan mengakibatkan terjadinya defisiensi protein, vitamin, hipoglikemia dan ganngguan pada berbagai system organ. Selain itu kelaparan juga dapat memicu pelepasan dari opioid endogen, hiperkortisolemia, dan supresi dari fungsi tiroid. Gangguan nuroendokrin mengakibatkan terjadinya hambatan puberitas, amenorrhea, anovulasi, level estrogen yang rendah, peningkatan growth hormone, penurunan anti diuretic hormone (ADH), hiperkarotenemiaaa dan hipotermia. Penurunan kadar gonadotropin dan hypogonadism juga dapat terjadi pada pria yang mengalami anoreksia nervosa.4
Efek terhadap kardiovaskulaar antara lain adanya mitral valve prolapsed, disiritmia supraventrikular dan ventricular, bradikardia, hipotensi orthostatic dan shok akibat congestive heart failure. Gangguan renal endokrin yang terlibat antara lain penuruan laju filtrasi glomerolus, peningkatan BUN, edema, asidosis dengan dehidrasi, hipokalemia, dan hiperaldosteronism. Ganggua pencernaan meliputi konstipasi, penghambatan pengosongan lambung dan dilasi lambung. Pasien yangmenginduksi muntah juga akan mengakibatkan erosi enamel dental, trauma palatal, pembesaran parotid, esofagitis, Mallory-Weiss lesions, dan peningkatan kadar transaminase.4
2.5. Manifestasi klinis
Anoreksia memiliki efek yang membahayakan baik dari segi psikologis maupun tingkah laku seseorang dan dapat mempengaruhi anggota keluarganya. Pasien yang menderita anoreksia akan mengalami penurunan berat badan yang dramatis dan bisa menyebabkan depresi dan penarikan diri dari lingkungan sosialnya.5
Berikut manifestasi klinis individual dengan anoreksia nervosa dari segi psikologis dan tingkah lakunya :
- Depresi
- Penarikan diri dari lingkungan sosial
- Sensitif
- Mudah tersinggung
- Gangguan tidur
- Mudah lelah
- Penurunan konsentrasi dan atensi
- Obsesi terhadap bentuk tubuh, makanan, dan berat badan
- Gangguan mood
- Cemas
- Gangguan personalitas
Gejala anoreksia biasanya berhubungan dengan diagnosis utama lainnya seperti gangguan depresi, mood dan personalitas. Gejala komplikasi anoreksia nervosa biasanya disebabkan oleh kelaparan sehingga mengakibatnya terganggunya organ-organ dalam tubuh.5
a. Gejala system kardiovaskular dan pembuluh darah : bradikardia, penurunan tekanan darah, aritmia.
b. Gejala system GI : konstipasi, nyeri abdomen.
c. Gejala system endokrin : gangguan siklus haid atau ammenorhea.
d. Gejala system musculoskeletal : ostopenia dan peningkatan resiko fraktur tulang.
e. Gejala system hemato : anemia dan leucopenia yang menyebabkan peningkatan resiko infeksi.
f. Gejala system hepato : peningkatan rasio enzim ALT dan GGT, disfungsi hati akut.
Pada pemeriksaan fisik orang dengan Anorexia akan ditemukan tanda-tanda berikut :
- Penurunan berat badan yang drastis.
- Kulit kering dan bersisik.
- Rambut berbulu halus pada wajah, punggung, lengan, dan kaki.
- Sering muntah.
- Hilangnya gigi karena seringnya melakukan pengkikisan enamel gigi.
- Tergangunya suhu tubuh.
Gambar 1. Efek anoreksia pada seluruh tubuh.
2.6. Diagnosis anoreksia nervosa
Untuk suatu diagnosis yang pasti, dibutuhkan semua hal-hal seperti dibawah ini
a. Berat badan tetap dipertahankan 15% dibawah yang seharusnya (baik yang berkurang maupun yang tak pernah dicapai), atau “Quetelet’s body-mass index” adalah 17,5 atau kurang (Quetelet’s body-mass index = berat [kg]/ tinggi [m]2 ). Pada penderita pra-pubertas bisa saja gagal mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan.
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal yang berikut ini:
- Merangsang muntah oleh diri sendiri;
- Menggunakan pencahar (urus-urus);
- Olah raga nerlbihan;
- Memakai obat penekan nafsu makan dan / atau diuretika
c. Terdapat distorsi “body-image” dalam ben tuk psikopatologi yang spesifik dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah.
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan “hypothalamic-ptuitary-gonadal axis” dengan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan pada pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual. (suatu pengecualian adalah pendarahan vagina yang menetap pada wanita yang anoreksia yang menerima terapi hormon, umumnya dalam bentuk pil kontrasepsi). Juga dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya kadar kortisol, perubahan metabolisme periferal dari hormon tiroid, dan sekresi insulin abnormal.
e. Jika onset terjadinya pada masa pra-pubertas, perkembangan pubertas tertunda, atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak perempuan buah dadanya tidak berkembang dan terdapat amenore primer; pada anak laki-laki genitalnya tetap kecil). Pada penyembuhan, pubertas kembali normal, tetapi “menarche” terlambat.5,6
Kriteria nyata untuk anoreksia nervosa ditemukan di asosiasi psikiatris Amerika Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Ada empat kriteria dasar untuk mendiagnosis anoreksia nervosa yang memiliki karakteristik:
1. Penolakan untuk memelihara berat badan pada atau di atas minimal berat badan normal menurut umur dan tingginya ( pemeliharaan suatu berat badan kurang dari 85% dari berat badan yang diharapkan).
2. Suatu ketakutan yang tinggi untuk meningkatkan berat badan atau menjadi gemuk, sehingga orang tersebut menjadi underweight.
3. Pesepsi diri yang nyata sekali disimpangkan, penekanan yang berlebihan pada berat badan di dalam penilaian diri, dan berat badan yang berkurang tidak diakui dengan sepenuhnya.
4. Pada wanita-wanita yang mulai siklus haid mereka, sedikitnya tiga periode yang berurutan tertunda (amenorrhea), atau periode haid terjadi hanya setelah hormon diatur.
DSM-IV-TR lebih lanjut mengidentifikasi dua subtipe dari anoreksia nervosa. Pada tipe peminum minuman keras atau purging (binge-eating atau purging), individu secara teratur terlibat dalam meminum minuman keras atau perilaku purging yang mengakibatkan muntah yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau penyalahgunaan dari obat pencuci perut, obat diuretika, atau enema sepanjang episode dari anoreksia. Pada tipe restriksi, individu sangat membatasi masukan makanan tetapi tidak secara teratur melibatkan perilaku yang tampak pada tipe binge-eating.5,6
Gambar 2. Gambaran orang dengan anoreksia nervosa.
2.7. Penatalaksanaan pada anoreksia nervosa
Sejak pasien telah didiagnosis anoreksia nervosa, pembentukan tim dalam mengobati pasien merupakan tindakan awal yang diperlukan. Anggota tim tidak hanya terdiri dari dokter, melainkan psikolog, konselor dan dietitans. Dukungan keluarga juga menjadi penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan pasien. Penatalaksanaan pasien anoreksia nervosa terdiri dari 3 langkah, yang pertama adalah mengembalikan kondisi pasien agar lebih baik, kedua memulai menasihati psien untuk memakan lebih banyak lagi, dan mengubah pola pikir pasien terhadap dirinya dan makanan.6
Pada pasien yang mengalami penurunan berat badan yang parah hingga menganggu fungsi organ, pasien harus dibawa ke rumah sakit untuk mengobati malnutrisinya, pemberian makanan melalui intravena ataupun tube sangat diperlukan.Hal ini biasanya dibantu oleh seorang dietitans. Penambahan berat badan 1-3 pound per minggu merupkan tujuan utama dalam mengobati malnutrisi. Kadang meningkatkan berat badan dilakukan dengan cara mengatur waktu makan, mengurangi aktifitas, dan meningkatkan aktivitas sosial. Pada seseorang yang telah menderita anoreksia selama bertahun-tahun, penatalaksanaan di lakukan dengan tujuan memperlambat atau mencegah kambuhnya gejala yg semakin parah.Selain mengobati malnutrisi pasien, penyakit sekunder yang mungkin telah mengganggu fisiologi organ tertentu juga harus ditangani.6
Walaupun tidak ada obat yang diidentifikasi dapan secara definitif mengurangi paksaan untuk lapar, obat-obat seperti olanzapine (Zyprexa, Zydis) , risperidone (Risperdal), dan quetiapine (Seroquel) merupakan obat-obat yang sering digunakan untuk menstabilkan mood dan biasa digunakan untuk mengobati schizoprenia mungin dapat berguna dalam mengobati anoreksia. Obat-obat ini membantu mrningkatkan berat badan dan menstabilkan gejala-gejala emosional seperti gelisah dan depresi. Beberapa obat anti depresant selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga membatu mempertahankan berat badan yang telah naik serta memiliki keuntungan terhadap menstabilkan emosi pada pasien anoreksia.7
Komponen kedua yang penting dalam penatalaksanaan anoreksia adalah konseling. Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang psikiater atau psikolog. Konseling sangat penting dalam penatalaksanaan anoreksia , tujuannya adalah mengidentifikasi pemikiran negatif yang menyebabkan gangguan makan dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih sehat serta mengurangi pemikiran-pemikiran yang salah. Tujuan lain dalam koseling adalah mengajarkan pasien dalam menghadapi masalah dengan orang lain, stress dengan cara mengatur emosi tanpa menghancurkan diri sendiri.
Beberapa contoh lain dari terapi psikologi juga digunakan dalam megobati pasien anoreksia, seperti terapi individual, terapi perilaku cognitif, terapi grub dan terapi keluarga. Terapi ini pernah d laporkan berhasil dalam pengobatan anoreksia.Pada orang dewasa, menurut penelitian Maudsley, terapi keluarga merupakan cara yang paling efektif dibanding terapi lainnya, suatu pedoman dari tim kesehatan mental profesional juga dikatakan keluarga membantu pasien lebih mencintai makanan dengan cara-cara yang sehat.6
Konseling pada pasien juga diarahkan pada masalah yang melatarbelakangi pasien menderita anoreksia, seperti alasan perfectionism (terlalu mengharapkan kesempurnaan) dan persepsi pribadi yang salah. Masalah keluarga juga bisa menjadi penyebabnya. Edukasi nutrisi diperlukan untuk memberikan alternatif management berat badan pada pasien. Grub konseling ini membantu pasien menjalani peroses perbaikan. Tujuan dari konseling ini adalah membatu pasien menerima dirinya dan menjalani kehidupan sehat baik dari segi psikis ataupun emosional.6
BAB III
KESIMPULAN
Anoreksia nervosa merupakan suatu gangguan yang berpotensi mengancam nyawa akibat kelaparan dan penurunan berat badan yang drastis. Ciri khas kelainan ini adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu atau dipertahankan oleh penderita.1 Gangguan makan dalam berbagai bentuk telah dilaporkan sampai 4 persen pelajar remaja dan dewasa muda. Anorexia nervosa telah dilaporkan lebih seing terjadi selama beberapa dekade belakangan ini dibandingkan dimasa lalu, dengan meningkatnya laporan gangguan pada anak perempuan pra pubertas dan pada laki-laki. Anoreksia nervosa diperkirakan terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 1 persen gadis remaja. Gangguan ini terjadi 10 sampai 20 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Penyebab anoreksia belum diketahui pasti, tetapi faktor biologis, sosial dan psikologi tampaknya memegang peranan penting dalam penyebab anoreksia nervosa. 3
Anoreksia nervosa merupakan akibat dari interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan social, yang cenderung mengenai wanita dibanding pria. Beberapa penelitian juga manyatakan bahwa angka kelainan ini lebih tinggi pada kembar monozigot dibanding dizigotik, yang mengindikasikan bahwa faktor biologis berperan penting.4 Secara psikologis, pasien praremaja yang mengidap anoreksia nervosa memiliki insiden dari pemorbid gangguan cemas yang tinggi. Hipotesis neurobiologist mengungkapkan bahwa ganggguan jalur serotonergik pada otak memediasi perkembangan anoreksia nervosa dan dapat mempengaruhi koeksistensi dari gangguan psikologis yang lainnya.4 Berbagai faktor psikologis telah terbukti berhubungan dengan anoreksia nervosa. Rasa harga diri yang rendah sering kali berperan penting dalam munculnya gangguan ini. Penurunan berat badan seringkali dipandang sebagai suatu pencapaian dan harga diri akan menjadi sangat bergantung pada ukuran tubuh. Terdapat hubungan yang jelas antara gangguan makan dengan gangguan mood. Pada beberapa kasus, depresi mayor dapat terjadi karena kurangnya nutrisi. Individu dengan anoreksia nervosa akan mengalami penurunan spontanitas dalam situasi sosial dan mengalami pembatasan emosional.
Pasien yang menderita anoreksia akan mengalami penurunan berat badan yang dramatis. Manifestasi klinis individual dengan anoreksia nervosa dari segi psikologis dan tingkah lakunya: depresi, penarikan diri dari lingkungan social, sensitive, mudah tersinggung, gangguan tidur, mudah lelah, penurunan konsentrasi dan atensi, obsesi terhadap bentuk tubuh, makanan, dan berat badan, gangguan mood, cemas, gangguan personalitas. Pada pemeriksaan fisik orang dengan anoreksia akan ditemukan tanda-tanda berikut: penurunan berat badan yang drastis, kulit kering dan bersisik, rambut berbulu halus pada wajah, punggung, lengan, dan kaki, sering muntah, hilangnya gigi karena seringnya melakukan pengkikisan enamel gigi, tergangunya suhu tubuh.5
DSM-IV-TR lebih lanjut mengidentifikasi dua subtipe dari anoreksia nervosa. Pada tipe peminum minuman keras atau purging (binge-eating atau purging), individu secara teratur terlibat dalam meminum minuman keras atau perilaku purging yang mengakibatkan muntah yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau penyalahgunaan dari obat pencuci perut, obat diuretika, atau enema sepanjang episode dari anoreksia. Pada tipe restriksi, individu sangat membatasi masukan makanan tetapi tidak secara teratur melibatkan perilaku yang tampak pada tipe binge-eating.5,6
Sejak pasien telah didiagnosis anoreksia nervosa, pembentukan tim dalam mengobati pasien merupakan tindakan awal yang diperlukan. Anggota tim tidak hanya terdiri dari dokter, melainkan psikolog, konselor dan dietitans. Dukungan keluarga juga menjadi penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan pasien. Penatalaksanaan pasien anoreksia nervosa terdiri dari 3 langkah, yang pertama adalah mengembalikan kondisi pasien agar lebih baik, kedua memulai menasihati psien untuk memakan lebih banyak lagi, dan mengubah pola pikir pasien terhadap dirinya dan makanan.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahkonen, Anna Keski. 2007. Epidemiology and Course of Anoreksia Nervosa in the Community. Am J Psychiatry 2007; 164:1259–126.
2. National Eating Disorder Association. 2005. Anoreksia Nervosa. www.natonaleatingdisorder.org.
3. Kaplan Sadock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. 1997. Jakarta: Binapura Aksara.
4. Cecily Lynn Betz, Linda A. Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri ed 5. 2009. Jakarta: EGC.
5. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan. 1993.
6. Diagnostic Criteria from DSM IV. 1st ed. Washington: American Psychiatric Association. 1994.
7. Katzung: Basic and Clinical Pharmacology, 9th ed. Lange. 2005.
Kamis, 20 Januari 2011
ASPEK KEDOKTERAN KLINIS DAN PATOLOGI FORENSIK PADA LUKA BAKAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal. Luka bakar merupakan salah satu klasifikasi jenis luka yang diakibatkan oleh sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.1,8
Kerusakan kulit yang terjadi tergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Suhu minimal untuk dapat menghasilkan luka bakar adalah sekitar 44 °C dengan kontak sekurang-kurangnya 5 –6 jam. Suhu 65 °C dengan kontak selama 2 detik sudah cukup menghasilkan luka bakar. Kontak kulit dengan uap air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1 mm dapat mencapai suhu 47 ° Celsius, air panas yang mempunyai suhu 60 ° C yang kontak dengan kulit dalam waktu 10 detik akan menyebabkan partial thickness skin loss dan diatas 70°C akan menyebabkan full thickness skin loss. Temperatur air yang digunakan untuk mandi adalah berkisar 36° C – 42° C. Pelebaran kapiler dibawah kulit mulai terjadi pada saat suhu mencapai 35 °C selama 120 detik, vesikel terjadi pada suhu 53 °C – 57 °C selama kontak 30 – 120 detik.
Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi shock, infeksi, ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit) dan masalah distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat juga menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis yang berat dikarenakan cacat akibat luka bakar dan bekas luka. Luka bakar dangkal dan ringan (superficial) dapat sembuh dengan cepat dan tidak menimbulkan jaringan parut. Namun apabila luka bakarnya dalam dan luas, maka penanganan memerlukan perawatan di fasilitas yang lengkap dan komplikasi semakin besar serta kecacatan dapat terjadi.
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya.
Di Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan injuri yang berat. Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th). Selain itu, indikasi untuk melakukan pembunuhan dengan mempersulit identifikasi korban melalui luka bakar juga memiliki prevalensi yang cukup tinggi yakni 90%.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana aspek kedokteran klinis dan patologi forensik luka bakar?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan sintesis ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek kedokteran klinis dan patologi forensik dari luka bakar.
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan dari sintesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang patologi forensic dari luka bakar.
2. Memberikan informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang aspek kedokteram klinis forensik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Luka Bakar
Secara umum, definisi luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan efek baik memanaskan atau mendinginkan. Kerusakan yang terjadi tergantung dari tinggi suhu, lama kontak, dan luas kontak.
Menurut Arief Mansjoer, luka bakar adalah injury pada jaringan yang disebabkan oleh suhu panas, kimia, elektrik, radiasi dan thermal. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat panas atau suhu dan lamanya terkena seperti yang ditulis Suzzane & Brenda. Sedangkan menurut Hudak & Gallo, luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh karena kontak lansung atau bersentuhan langsung atau tidak langsung dengan panas, kimia dan sumber lain yang menyebabkan terbakar.1,8
2.2 Klasifikasi Luka Bakar
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi berat ringannya luka bakar
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat-ringannya luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia.2,3,4,7
a. Kedalaman luka bakar
Klasifikasi dari derajat luka bakar yang banyak digunakan di dunia medis adalah jenis "Superficial Thickness", "Partial Thickness" dan "Full Thickness" dimana pembagian tersebut didasarkan pada sejauh mana luka bakar menyebabkan perlukaan apakah pada epidermis, dermis ataukah lapisan subcutaneous dari kulit. Pengklasifikasian luka tersebut digunakan untuk panduan pengobatan dan memprediksi prognosis
Tabel 1. Deskripsi dan klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya
Klasifikasi Nama lain Kedalaman Manifestasi klinis
Superficial thickness Derajat 1 Lapisan Epidermis Erythema( kemerahan ), Rasa sakit seperti tersengat, terdapat bula
Partial thickness superficial Derajat 2 Epidermis Superficial (Lapisan papillary) dermis
Bula ( Gelembung cairan ), Cairan bening ketika gelembung dipecah, dan rasa sakit nyeri
Partial thickness deep Deep (reticular) dermis atau Derajat 2 dalam Epidermis dan sebagian dermis Bula, nyeri karena ujung saraf sensoris teriritasi, dasar luka berwarna merah atau pucat
Full thickness Derajat 3 atau 4 Dermis dan lapisan lebih dalam Berat, adanya eschar seperti kulit yang meleleh, cairan berwarna, tidak didapatkan sensasi rasa sakit
b. Luas luka bakar
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan presentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomik, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Metode Rules of Nine ini berlaku pada anak-anak juga dengan sedikit perbedaan yang akan dijelaskan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Metode Rules of Nine dan Rules of five
Area Dewasa Bayi Anak-anak
Kepala dan leher 9% 20% 15%
Ekstremitas atas kanan 9% 10% 10%
Ekstremitas atas kiri 9% 10% 10%
Trunkus posterior 18% 20% 20%
Trunkus anterior 18% 20% 20%
Ekstremitas bawah kanan 18% 10% 15%
Ekstremitas bawah kiri 18% 10% 15%
Genitalia 1% - -
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar (lihat gambar 2 atau tabel 2).
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.
c. Lokasi luka bakar
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner.
d. Mekanisme injuri
Mekanisme injuri merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus. Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali berhubungan dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, kontraksi otot tetani, dan fraktur kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra. Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat terjadi.
e. Kesehatan umum
Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakit-penyakit ginjal, khususnya diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan gagal ginjal, harus diobservasi karena semua itu akan mempengaruhi respon klien terhadap injuri dan penanganannya.
Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang nonalkoholism. Disamping itu juga klien pecandu alkohol yang terkena luka bakar masa hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya penderita luka bakar yang juga alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit.
f. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th. Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya.
Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
2.2.2 Kategori beratnya luka bakar
Perkumpulan Luka Bakar America (American Burn Association/ABA) mempublikasikan petunjuk tentang klasifikasi beratnya luka bakar. Perkumpulan itu mengklasifikasikan beratnya luka bakar ke dalam 3 kategori, dengan petunjuknya seperti tampak dalam tabel.1,2,9
Tabel 3.Kategori beratnya luka bakar menurut Americam Burn Assocoation (ABA)
Luka Bakar Mayor
• Luka bakar derajat 2, >25 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, >25 % permukaan tubuh anak dengan usia kurang dari 10 tahun
• Luka bakar derajat 3, >10% permukaan tubuh
• Sebagian besar luka mengenai wajah, mata, telinga, lengan, kaki, dan perineum yang mengakibatkan gangguan fungsional atau kosmetik atau menimbulkan disability
• Pasien dengan cedera inhalasi, cedera listrik, luka bakar yang terkomplikasi dengan trauma mayor lain
Luka Bakar Moderat Tidak Terkomplikasi
• Luka bakar derajat 2, dengan luka antara 15-20 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, dengan luka antara 10-20 % permukaan tubuh pada anak
• Luka bakar derajat 3, <10% permukaan tubuh
Luka Bakar Minor
• Luka bakar derajat 2, dengan luka <15 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, dengan luka <10 % permukaan tubuh pada anak
• Luka bakar derajat 3, <2% permukaan tubuh
2.3 Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh peralihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh dan panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik. Ada beberapa hal yang meyebabkan luka bakar meliputi: termal, kimia, dan juga radiasi, luka bakar pun menghasilkan respon bermacam respon meliputi: respon pada kulit, respon sistemik, kardiovaskular, efek pada cairan elektrolit dan volume darah, pulmoner, dan respon sistemik lainnya.1,5,10
2.3.1 Respon pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri.
2.3.2 Respon Sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang intravascular kedalam ruang interstisial.
2.3.3 Respon Kardiovaskular
`Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
2.3.4 Efek pada Cairan, Elektrolit dan Volume Darah
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka bakar. Disamping itu, kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar dapat mencapai 3 sampai dengan 5 liter atau lebih selama periode 24 jam sebelum permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama syok luka bakar, biasanya klien mengalami hiponatrium, hiperkalemia, dan atau hipokalemia. Pada saat luka bakar, sebagian besar sel darah merah dihancurkan dan sebagian yang lainnya mengalami kerusakan sehingga terjadi anemia. Walaupun demikian, nilai hemotokrit klien dapat meninggi akibat kehilangan plasma.
2.3.5 Respon Pulmoner
Pada klien yang mengalami luka bakar biasanya disertai dengan kerusakan pulmoner, yang ditandai dengan cedera inhalasi, berikut adalah klasifikasinya: cedera saluran napas atas, cedera inhalasi dibawah glotis, yang mencakup keracunan karbon monoksida dan defek restriktif.
Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas langsung atau edema, bentuknya obstruksi-mekanis saluran atas yang menyerang faring dan laring. Cedera inhalasi dibawah glottis terjadi akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebabkan hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan bronkospasme. Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan defek restriktif terjadi kalau timbul edema dibawah luka bakar full thickness yang melingkar pada leher dan toraks.
2.3.6 Respon Imun
Fungsi sistem imunemengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
2.3.7 Respon sistemik lainnya
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah, destruksi sel- sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), mioglobin akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan mioglobin akan menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal. Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti.
Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar.
2.4 Patologi Forensik
Kematian akibat luka bakar dapat bersifat segera (immediate) atau tertunda (delayed). Kematian segera artinya kematian yang langsung terjadi akibat paparan panas mengenai tubuh, misalnya tubuh yang terbakar atau terkena cedera inhalasi. Sedangkan kematian yang tertunda adalah kematian yang terjadi dalam 1 atau 4 hari akibat syok, kehilangan cairan berlebih, lower nephron nephrosis, pulmonary edema, pneumonia, atau akibat infeksi dan kegagalan respirasi akut lainnya.2,10
2.4.1 Penyebab Kematian Akibat Luka Bakar (Manner of Death)
a. Keracunan Zat Karbon Monoksida
Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang hebat yang terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada kasus-kasus kebakaran yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke inhalation lebih sering bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban dibanding dengan luka bakar itu sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang penting dari penyebab kematian pada luka bakar, biasanya korban menjadi tidak sadar dan meninggal sebelum api membakarnya, ini dapat menjawab pertanyaan mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi kebakaran. Sehingga dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat luka bakar serta saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hati – hati. Gas CO ini dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna misalnya kayu yang terbakar, kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO.
CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paru-paru. Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO dalam darah hanya lebih dari 5%, dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih bernafas pada waktu terjadinya kabakaran, demikian juga pada korban atherosclerosis coroner yang berat dapat meninggal dengan kadar COHB yang lebih rendah dari pada individu yang sehat. Bila CO merupakan penyebab mati yang utama maka saturasi dalam darah paling sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang tua, anak-anak dan debilitas dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar COHB pada korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan 50- 60 % saturasi, walaupun kadarnya secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam darah pada keracunan CO murni, seperti pembunuhan dengan gas mobil atau industrial exposure, dimana konsentrasinya dapat mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai dengan penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation. Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti furniture, cat , kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila dihisap dan potensial dalam menyebabkan kematian.
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini harus dicari pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan apakah luka-luka tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma tumpul yang mematikan tanpa keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai sebagai suatu pembunuhan.
d. Anoksia dan hipoksia
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai penyebab kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih cukup untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang diletakkan dalam tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin padam lebih dahulu tikus masih aktif berlari disekitarnya.
Radikal bebeas dapat diajukan sebagai salah satu kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena radikal bebas ini dapat menyebabkan surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam darah.
e. Luka bakar itu sendiri
Secara general dapat dikatakan bahwa luka bakar seluas 30 – 50 % dapat menyebabkan kematian. Pada orang tua dapat meninggal dengan presentasi yang jauh lebih rendah dari ini, sedangkan pada anak-anak biasanya lebih resisten.
Selain oleh derajat dan luas luka bakar prognosis juga dipengaruhi oleh lokasi daerah yang terbakar, keadaan kesehatan korban pada waktu terbakar. Luka bakar pada daerah perineum, ketiak, leher, dan tangan dikatakan sulit dalam perawatannya, oleh karena mudah mengalami kontraktur.
f. Paparan panas yang berlebih
Environmental hypertermia dapat menjadi sangat fatal dan bisa menyebabkan kematian. Bila tubuh terpapar gas panas, air panas atau ledakan panas dapat menyebabkan syok yang disertai kolaps kardiovaskuler yang mematikan.
2.4.2 Penentuan Intravitalitas Luka Bakar
Faktor yang tidak kalah penting dalam patologi forensik adalah bagaimana cara membedakan apakah korban mati sebelum atau sesudah kebakaran.3,8
a. Jelaga dalam saluran nafas
Pada kebakaran rumah atau gedung dimana rumah atau gedung beserta isi perabotannya juga terbakar seperti bahan-bahan yang terbuat dari kayu, plastik akan menghasilkan asap yang berwarna hitam dalam jumlah yang banyak. Akibat dari inhalasi ini korban akan menghirup partikel karbon dalam asap yang berwarna hitam. Sebagai tanda dari inhalasi aktif antemortem, maka partikel-partikel jelaga ini dapat masuk kedalam saluran nafas melalui mulut yang terbuka, mewarnai lidah, dan faring, glottis , vocal cord , trachea bahkan bronchiolus terminalis. Sehingga, secara histologi ditemukan jelaga yang terletak pada bronchiolus terminalis merupakan bukti yang absolut dari fungsi respirasi. Sering pula dijumpai adanya jelaga dalam mukosa lambung, ini juga merupakan bukti bahwa korban masih hidup pada wakrtu terdapat asap pada peristiwa kebakaran. Karbon ini biasanya bercampur dengan mukus yang melekat pada trachea dan dinding bronchus oleh karena iritasi panas pada mukosa. Ditekankan sekali lagi bahwa ini lebih nyata bila kebakaran terjadi didalam gedung dari pada di dalam rumah.
b. Saturasi COHB dalam darah
CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paru-paru.
Akan tetapi bila pada darah korban tidak ditemukan adanya saturasi COHB maka tidak berarti korban mati sebelum terjadi kebakaran. Pada nyala api yang terjadi secara cepat, terutama kerosene dan benzene, maka level karbonmonoksida lebih rendah atau bahkan negative dari pada kebakaran yang terjadi secara perlahan-lahan dengan akses oksigen yang terbatas seperti pada kebakaran gedung.
Satu lagi yang harus disadari bahwa kadar saturasi CO dalam darah tergantung beberapa faktor termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari udara, lamanya eksposure, rata-rata dan kedalaman respiration rate dan kandungan Hb dalam darah. Kondisi-kondisi ini akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan rata-rata absorbsi CO. sebagai contoh api yangmenyala dalam ruangan tertutup, akumulasi CO dalam udara akan cepat meningkat sampai konsentrasi yang tinggi, sehingga diharapkan absorbsi CO dari korban akan meningkan secra bermakna.
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang meninggal pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang berupa cherry red pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi pada orang yang anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini menjadi sulit dikenali. Warna cherry red ini juga dapat disebabkan oleh keracuan sianida atau bila tubuh terpapar pada suhu dingin untuk waktu yang lama.
c. Reaksi jaringan
Tidak mudah untuk membedakan luka bakar yang akut yang terjadi antemortem dan postmortem. Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama sampai terjadi respon respon radang. Kurangnya respon tidak merupakan indikasi bahwa luka bakar terjadi postmortem. Pemeriksaan slide secara mikroskopis dari korban luka bakar derajat tiga yang meninggal tiga hari kemudian tidak ditemukan reaksi radang, ini diperkirakan oleh karena panas menyebabkan trombosis dari pembuluh darah pada lapisan dermis sehinggga sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka bakar dan tidak menyebabkan reaksi radang. Blister juga bukan merupakan indikasi bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena blister ini dapat terjadi secara postmortem. Blister yang terjadi postmortem berwarna kuning pucat, kecuali pada kulit yang hangus terbakar. Agak jarang dengan dasar merah atau areola yang erythematous, walaupun ini bukan merupakan tanda pasti. Secara tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk dapat membedakan blister yang terjadi antemortem dengan blister yang terjadi postmortem adalah dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu. Blister yang dibentuk pada antemortem dikatakan mengandung lebih banyak protein dan chloride, tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolute.
d. Pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung
Perdarahan subendokardial pada ventrikel kiri dapat terjadi oleh karena efek panas. Akan tetapi perdarahan ini bukan sesuatu yang spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme kematian. Pada korban kebakaran perdarahan ini merupakan indikasi bahwa sirkulasi aktif sedang berjalan ketika tereksposure oleh panas tinggi yang tidak dapat ditolerasi oleh tubuh dan ini merupakan bukti bahwa korban masih hidup saat terjadi kebakaran.
2.5 Identifikasi Korban
Terlalu seringnya kejadian bahwa mayat yang sudah hangus itu cepat-cepat dikubur hanya dengan sedikit usaha-usaha penyidikan mengenai kematian dari peristiwa yang nyata-nyata terjadi. Bila tidak terdapat kerusakan yang berat dari luka bakar maka identifikasi dapat cepat ditegakkan melalui identifikasi personal, fotografi, atau fingerprints. Akan tetapi bila tubuh sudah hangus terbakar seperti arang dan terjadi mutilasi pada kepala atau ekstremitas sehingga tidak didapatkan lagi sidik jarinya maka methode lain harus digunakan.2,3
Metode yang terbanyak dan paling dipercaya adalah dental identification karena gigi relatif tahan terhadap api. Metode lain yang dapat dipercaya tetapi kurang umum penggunaannya adalah membandingkan x-ray yang diambil antemortem dan postmortem dari korban. Bila identifikasi tidak dapat dibuat melalui finger prints, dental charts, dental x-rays atau antemortem x-ray maka hanya satu harapan yang dapat digunakan dalam menegakan identifikasi yaitu melalui pemeriksaan DNA.
Bagaimanapun juga melengkapi data data pembanding seperti karakter fisik, luka-luka lama atau bekas operasi, tattoo merupakan tugas patologis dalam mengidentifikasi mayat
2.6 Keadaan Umum yang Ditemukan pada Mayat dengan Luka Bakar
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang terbakar sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut keadaan umum yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar.3,4,5,6
a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka sayat dan sering disalah artikan sebagai kekerasan tajam. Artefak postmortem ini dapat mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak adanya perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat. Kadang-kadang dapat terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran partial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan keluarnya sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini terjadi tanpa perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam rongga abdomen.
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak. Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus dapat meluas sampai ke oksipital.
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan pada korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama dengan api dan asap. Tulang – tulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu keputihan dan sering menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini biasanya hancur bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada waktu transportasi ke kamar mayatatau selama usaha memadamkan api. Mayat sering dibawa tanpa tangan dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena sudah mengalami fragmentasi.
f. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi “pugilistic”. Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut otot otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi sebagian atau seluruhnya. Posisi “pugilistic” ini tidak berhubungan apakah individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. “pugilistic” attitude atau heat rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan.
BAB III
KESIMPULAN
Luka bakar merupakan salah satu klasifikasi jenis luka yang diakibatkan oleh sumber panas ataupun suhu dingin yang ting1i, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Dalam aspek kedokteran klinis forensik, dapat dilihat faktor - faktor yang mempengaruhi berat-ringannya luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia. Selain itu, luka bakar juga dibagi dalam berbagai kategori yang disesuaikan dengan derajatnya.
Ini membantu dalam aspek medikolegal luka yang diatur dalam pasal 352 KUHP yang menjelaskan tentang luka ringan yang diasosiasikan dengan penganiyaan ringan. Sedangkan bila ia mengalami luka sedang akan diasosiasikan dengan pasal 351 (1) atau 353 (1) KUHP tergantung pada ada atau tidaknya rencana. Korban dengan luka berat dapat diasosiasikan dengan pasal 351 (1), 353 (2), 354 (1), atau 355 (1) KUHP tergantung pada niat dan ada atau tidaknya rencana.1,2
Pada korban yang sudah meninggal, aspek patologi forensik sangat berperan untuk menentukan penyebab dan mekanisme kematian korban. Kematian akibat luka bakar ini dapat terjadi akibat ketidaksengajaan atau memang ada unsure kesengajaan. Ada beberapa cara yang digunakan untuk membedakan apakah pasien meninggal sebelum atau sesudah luka bakar terjadi seperti jelaga pada saluran nafas, saturasi COHB dalam darah, pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung, dan lainnya yang telah dijelaskan dalam bab pembahasan.
Identifikasi korban tidak mudah dilakukan dan memerlukan ketelitian. Metode yang terbanyak dan paling dipercaya adalah dental identification karena gigi relatif tahan terhadap api. Metode lain yang dapat dipercaya tetapi kurang umum penggunaannya adalah membandingkan x-ray yang diambil antemortem dan postmortem dari korban. Bila identifikasi tidak dapat dibuat melalui finger prints, dental charts, dental x-rays atau antemortem x-ray maka hanya satu harapan yang dapat digunakan dalam menegakan identifikasi yaitu melalui pemeriksaan DNA.
Selain itu, keadaan umum seperti skin split, kerusakan dinding abdomen, fraktur kepala, pseudo epidural hemorrhage juga bisa membantu dalam identifikasi korban.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner dan Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddart. 8th ed. Vol.3. Jakarta: EGC
2. DiMaio J, DiMaio D. Fire Deaths. In: DiMaio J, DiMaio D (eds). Forensic Pathology. 2nd ed. New York: CRC press LLC;2001. p. 1-21
3. Basebeth Keren DR.SPF.DFM. Kematian Karena Luka Bakar. Available at : http://deathduetofire.blogspot.com . Acceseed at January 11, 2011.
4. Dix J. Thermal Injuries. In: Dix J (ed). Color Atlas of Forensic Pathology. New York: CRC Press LLC;2000. P. 116-124
5. Hudspith J, Rayatt S. (2004). First aid and treatment of minor burns. ABC of burns. BMJ
6. Moenadjat, Yefta. (2003). Luka Bakar : Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7. Budiyanto A, et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : SMF Foresik Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.
8. Anonim. Luka Bakar. Available at : http://wikipedia.com. Acceseed at January 11, 2011.
9. Anonim. Severity of burns. Available at : http://www.burnexperts.com/burnseverity.htm. Acceseed at January 11, 2011.
10. Benson A, Dickson WA, Boyce DE. ABC of Wound Healing : Burns. BMJ 2006;332:755
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal. Luka bakar merupakan salah satu klasifikasi jenis luka yang diakibatkan oleh sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.1,8
Kerusakan kulit yang terjadi tergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Suhu minimal untuk dapat menghasilkan luka bakar adalah sekitar 44 °C dengan kontak sekurang-kurangnya 5 –6 jam. Suhu 65 °C dengan kontak selama 2 detik sudah cukup menghasilkan luka bakar. Kontak kulit dengan uap air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1 mm dapat mencapai suhu 47 ° Celsius, air panas yang mempunyai suhu 60 ° C yang kontak dengan kulit dalam waktu 10 detik akan menyebabkan partial thickness skin loss dan diatas 70°C akan menyebabkan full thickness skin loss. Temperatur air yang digunakan untuk mandi adalah berkisar 36° C – 42° C. Pelebaran kapiler dibawah kulit mulai terjadi pada saat suhu mencapai 35 °C selama 120 detik, vesikel terjadi pada suhu 53 °C – 57 °C selama kontak 30 – 120 detik.
Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi shock, infeksi, ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit) dan masalah distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat juga menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis yang berat dikarenakan cacat akibat luka bakar dan bekas luka. Luka bakar dangkal dan ringan (superficial) dapat sembuh dengan cepat dan tidak menimbulkan jaringan parut. Namun apabila luka bakarnya dalam dan luas, maka penanganan memerlukan perawatan di fasilitas yang lengkap dan komplikasi semakin besar serta kecacatan dapat terjadi.
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya.
Di Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan injuri yang berat. Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th). Selain itu, indikasi untuk melakukan pembunuhan dengan mempersulit identifikasi korban melalui luka bakar juga memiliki prevalensi yang cukup tinggi yakni 90%.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana aspek kedokteran klinis dan patologi forensik luka bakar?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan sintesis ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek kedokteran klinis dan patologi forensik dari luka bakar.
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan dari sintesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang patologi forensic dari luka bakar.
2. Memberikan informasi kepada pembaca agar lebih memahami tentang aspek kedokteram klinis forensik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Luka Bakar
Secara umum, definisi luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan efek baik memanaskan atau mendinginkan. Kerusakan yang terjadi tergantung dari tinggi suhu, lama kontak, dan luas kontak.
Menurut Arief Mansjoer, luka bakar adalah injury pada jaringan yang disebabkan oleh suhu panas, kimia, elektrik, radiasi dan thermal. Luka bakar adalah luka yang terjadi bila sumber panas bersentuhan dengan tubuh atau jaringan dan besarnya luka ditentukan oleh tingkat panas atau suhu dan lamanya terkena seperti yang ditulis Suzzane & Brenda. Sedangkan menurut Hudak & Gallo, luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh karena kontak lansung atau bersentuhan langsung atau tidak langsung dengan panas, kimia dan sumber lain yang menyebabkan terbakar.1,8
2.2 Klasifikasi Luka Bakar
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi berat ringannya luka bakar
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat-ringannya luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia.2,3,4,7
a. Kedalaman luka bakar
Klasifikasi dari derajat luka bakar yang banyak digunakan di dunia medis adalah jenis "Superficial Thickness", "Partial Thickness" dan "Full Thickness" dimana pembagian tersebut didasarkan pada sejauh mana luka bakar menyebabkan perlukaan apakah pada epidermis, dermis ataukah lapisan subcutaneous dari kulit. Pengklasifikasian luka tersebut digunakan untuk panduan pengobatan dan memprediksi prognosis
Tabel 1. Deskripsi dan klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya
Klasifikasi Nama lain Kedalaman Manifestasi klinis
Superficial thickness Derajat 1 Lapisan Epidermis Erythema( kemerahan ), Rasa sakit seperti tersengat, terdapat bula
Partial thickness superficial Derajat 2 Epidermis Superficial (Lapisan papillary) dermis
Bula ( Gelembung cairan ), Cairan bening ketika gelembung dipecah, dan rasa sakit nyeri
Partial thickness deep Deep (reticular) dermis atau Derajat 2 dalam Epidermis dan sebagian dermis Bula, nyeri karena ujung saraf sensoris teriritasi, dasar luka berwarna merah atau pucat
Full thickness Derajat 3 atau 4 Dermis dan lapisan lebih dalam Berat, adanya eschar seperti kulit yang meleleh, cairan berwarna, tidak didapatkan sensasi rasa sakit
b. Luas luka bakar
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan presentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomik, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Metode Rules of Nine ini berlaku pada anak-anak juga dengan sedikit perbedaan yang akan dijelaskan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Metode Rules of Nine dan Rules of five
Area Dewasa Bayi Anak-anak
Kepala dan leher 9% 20% 15%
Ekstremitas atas kanan 9% 10% 10%
Ekstremitas atas kiri 9% 10% 10%
Trunkus posterior 18% 20% 20%
Trunkus anterior 18% 20% 20%
Ekstremitas bawah kanan 18% 10% 15%
Ekstremitas bawah kiri 18% 10% 15%
Genitalia 1% - -
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar (lihat gambar 2 atau tabel 2).
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.
c. Lokasi luka bakar
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner.
d. Mekanisme injuri
Mekanisme injuri merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus. Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali berhubungan dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, kontraksi otot tetani, dan fraktur kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra. Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat terjadi.
e. Kesehatan umum
Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakit-penyakit ginjal, khususnya diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan gagal ginjal, harus diobservasi karena semua itu akan mempengaruhi respon klien terhadap injuri dan penanganannya.
Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang nonalkoholism. Disamping itu juga klien pecandu alkohol yang terkena luka bakar masa hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya penderita luka bakar yang juga alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit.
f. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th. Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya.
Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
2.2.2 Kategori beratnya luka bakar
Perkumpulan Luka Bakar America (American Burn Association/ABA) mempublikasikan petunjuk tentang klasifikasi beratnya luka bakar. Perkumpulan itu mengklasifikasikan beratnya luka bakar ke dalam 3 kategori, dengan petunjuknya seperti tampak dalam tabel.1,2,9
Tabel 3.Kategori beratnya luka bakar menurut Americam Burn Assocoation (ABA)
Luka Bakar Mayor
• Luka bakar derajat 2, >25 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, >25 % permukaan tubuh anak dengan usia kurang dari 10 tahun
• Luka bakar derajat 3, >10% permukaan tubuh
• Sebagian besar luka mengenai wajah, mata, telinga, lengan, kaki, dan perineum yang mengakibatkan gangguan fungsional atau kosmetik atau menimbulkan disability
• Pasien dengan cedera inhalasi, cedera listrik, luka bakar yang terkomplikasi dengan trauma mayor lain
Luka Bakar Moderat Tidak Terkomplikasi
• Luka bakar derajat 2, dengan luka antara 15-20 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, dengan luka antara 10-20 % permukaan tubuh pada anak
• Luka bakar derajat 3, <10% permukaan tubuh
Luka Bakar Minor
• Luka bakar derajat 2, dengan luka <15 % permukaan tubuh pada orang dewasa
• Luka bakar derajat 2, dengan luka <10 % permukaan tubuh pada anak
• Luka bakar derajat 3, <2% permukaan tubuh
2.3 Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh peralihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh dan panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik. Ada beberapa hal yang meyebabkan luka bakar meliputi: termal, kimia, dan juga radiasi, luka bakar pun menghasilkan respon bermacam respon meliputi: respon pada kulit, respon sistemik, kardiovaskular, efek pada cairan elektrolit dan volume darah, pulmoner, dan respon sistemik lainnya.1,5,10
2.3.1 Respon pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri.
2.3.2 Respon Sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat pada seberapa luas permukaan tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium, serta protein dari ruang intravascular kedalam ruang interstisial.
2.3.3 Respon Kardiovaskular
`Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intraseluler dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
2.3.4 Efek pada Cairan, Elektrolit dan Volume Darah
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka bakar. Disamping itu, kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar dapat mencapai 3 sampai dengan 5 liter atau lebih selama periode 24 jam sebelum permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama syok luka bakar, biasanya klien mengalami hiponatrium, hiperkalemia, dan atau hipokalemia. Pada saat luka bakar, sebagian besar sel darah merah dihancurkan dan sebagian yang lainnya mengalami kerusakan sehingga terjadi anemia. Walaupun demikian, nilai hemotokrit klien dapat meninggi akibat kehilangan plasma.
2.3.5 Respon Pulmoner
Pada klien yang mengalami luka bakar biasanya disertai dengan kerusakan pulmoner, yang ditandai dengan cedera inhalasi, berikut adalah klasifikasinya: cedera saluran napas atas, cedera inhalasi dibawah glotis, yang mencakup keracunan karbon monoksida dan defek restriktif.
Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas langsung atau edema, bentuknya obstruksi-mekanis saluran atas yang menyerang faring dan laring. Cedera inhalasi dibawah glottis terjadi akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebabkan hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan bronkospasme. Keracunan karbon monoksida akan mengakibatkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida 200 kali lebih besar daripada afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan defek restriktif terjadi kalau timbul edema dibawah luka bakar full thickness yang melingkar pada leher dan toraks.
2.3.6 Respon Imun
Fungsi sistem imunemengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
2.3.7 Respon sistemik lainnya
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah, destruksi sel- sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan di otot (akibat luka bakar listrik), mioglobin akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah yang melewati tubulus renal tidak cukup maka hemoglobin dan mioglobin akan menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal. Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini membuat seseorang yang menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis.
Selain itu, hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur suhu, sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun kemudian akan mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena hipermetabolisme menyetel kembali suhu tubuh inti.
Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usus) dan ulkus curling, berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar.
2.4 Patologi Forensik
Kematian akibat luka bakar dapat bersifat segera (immediate) atau tertunda (delayed). Kematian segera artinya kematian yang langsung terjadi akibat paparan panas mengenai tubuh, misalnya tubuh yang terbakar atau terkena cedera inhalasi. Sedangkan kematian yang tertunda adalah kematian yang terjadi dalam 1 atau 4 hari akibat syok, kehilangan cairan berlebih, lower nephron nephrosis, pulmonary edema, pneumonia, atau akibat infeksi dan kegagalan respirasi akut lainnya.2,10
2.4.1 Penyebab Kematian Akibat Luka Bakar (Manner of Death)
a. Keracunan Zat Karbon Monoksida
Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang hebat yang terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada kasus-kasus kebakaran yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke inhalation lebih sering bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban dibanding dengan luka bakar itu sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang penting dari penyebab kematian pada luka bakar, biasanya korban menjadi tidak sadar dan meninggal sebelum api membakarnya, ini dapat menjawab pertanyaan mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi kebakaran. Sehingga dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat luka bakar serta saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hati – hati. Gas CO ini dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna misalnya kayu yang terbakar, kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO.
CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paru-paru. Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO dalam darah hanya lebih dari 5%, dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih bernafas pada waktu terjadinya kabakaran, demikian juga pada korban atherosclerosis coroner yang berat dapat meninggal dengan kadar COHB yang lebih rendah dari pada individu yang sehat. Bila CO merupakan penyebab mati yang utama maka saturasi dalam darah paling sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang tua, anak-anak dan debilitas dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar COHB pada korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan 50- 60 % saturasi, walaupun kadarnya secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam darah pada keracunan CO murni, seperti pembunuhan dengan gas mobil atau industrial exposure, dimana konsentrasinya dapat mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai dengan penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation. Asap yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti furniture, cat , kayu, pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila dihisap dan potensial dalam menyebabkan kematian.
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini harus dicari pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan apakah luka-luka tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma tumpul yang mematikan tanpa keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai sebagai suatu pembunuhan.
d. Anoksia dan hipoksia
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai penyebab kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih cukup untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang diletakkan dalam tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin padam lebih dahulu tikus masih aktif berlari disekitarnya.
Radikal bebeas dapat diajukan sebagai salah satu kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena radikal bebas ini dapat menyebabkan surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam darah.
e. Luka bakar itu sendiri
Secara general dapat dikatakan bahwa luka bakar seluas 30 – 50 % dapat menyebabkan kematian. Pada orang tua dapat meninggal dengan presentasi yang jauh lebih rendah dari ini, sedangkan pada anak-anak biasanya lebih resisten.
Selain oleh derajat dan luas luka bakar prognosis juga dipengaruhi oleh lokasi daerah yang terbakar, keadaan kesehatan korban pada waktu terbakar. Luka bakar pada daerah perineum, ketiak, leher, dan tangan dikatakan sulit dalam perawatannya, oleh karena mudah mengalami kontraktur.
f. Paparan panas yang berlebih
Environmental hypertermia dapat menjadi sangat fatal dan bisa menyebabkan kematian. Bila tubuh terpapar gas panas, air panas atau ledakan panas dapat menyebabkan syok yang disertai kolaps kardiovaskuler yang mematikan.
2.4.2 Penentuan Intravitalitas Luka Bakar
Faktor yang tidak kalah penting dalam patologi forensik adalah bagaimana cara membedakan apakah korban mati sebelum atau sesudah kebakaran.3,8
a. Jelaga dalam saluran nafas
Pada kebakaran rumah atau gedung dimana rumah atau gedung beserta isi perabotannya juga terbakar seperti bahan-bahan yang terbuat dari kayu, plastik akan menghasilkan asap yang berwarna hitam dalam jumlah yang banyak. Akibat dari inhalasi ini korban akan menghirup partikel karbon dalam asap yang berwarna hitam. Sebagai tanda dari inhalasi aktif antemortem, maka partikel-partikel jelaga ini dapat masuk kedalam saluran nafas melalui mulut yang terbuka, mewarnai lidah, dan faring, glottis , vocal cord , trachea bahkan bronchiolus terminalis. Sehingga, secara histologi ditemukan jelaga yang terletak pada bronchiolus terminalis merupakan bukti yang absolut dari fungsi respirasi. Sering pula dijumpai adanya jelaga dalam mukosa lambung, ini juga merupakan bukti bahwa korban masih hidup pada wakrtu terdapat asap pada peristiwa kebakaran. Karbon ini biasanya bercampur dengan mukus yang melekat pada trachea dan dinding bronchus oleh karena iritasi panas pada mukosa. Ditekankan sekali lagi bahwa ini lebih nyata bila kebakaran terjadi didalam gedung dari pada di dalam rumah.
b. Saturasi COHB dalam darah
CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi pada paru-paru.
Akan tetapi bila pada darah korban tidak ditemukan adanya saturasi COHB maka tidak berarti korban mati sebelum terjadi kebakaran. Pada nyala api yang terjadi secara cepat, terutama kerosene dan benzene, maka level karbonmonoksida lebih rendah atau bahkan negative dari pada kebakaran yang terjadi secara perlahan-lahan dengan akses oksigen yang terbatas seperti pada kebakaran gedung.
Satu lagi yang harus disadari bahwa kadar saturasi CO dalam darah tergantung beberapa faktor termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari udara, lamanya eksposure, rata-rata dan kedalaman respiration rate dan kandungan Hb dalam darah. Kondisi-kondisi ini akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan rata-rata absorbsi CO. sebagai contoh api yangmenyala dalam ruangan tertutup, akumulasi CO dalam udara akan cepat meningkat sampai konsentrasi yang tinggi, sehingga diharapkan absorbsi CO dari korban akan meningkan secra bermakna.
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang meninggal pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang berupa cherry red pada kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi pada orang yang anemik atau mempunyai kelainan darah warna cherry red ini menjadi sulit dikenali. Warna cherry red ini juga dapat disebabkan oleh keracuan sianida atau bila tubuh terpapar pada suhu dingin untuk waktu yang lama.
c. Reaksi jaringan
Tidak mudah untuk membedakan luka bakar yang akut yang terjadi antemortem dan postmortem. Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama sampai terjadi respon respon radang. Kurangnya respon tidak merupakan indikasi bahwa luka bakar terjadi postmortem. Pemeriksaan slide secara mikroskopis dari korban luka bakar derajat tiga yang meninggal tiga hari kemudian tidak ditemukan reaksi radang, ini diperkirakan oleh karena panas menyebabkan trombosis dari pembuluh darah pada lapisan dermis sehinggga sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka bakar dan tidak menyebabkan reaksi radang. Blister juga bukan merupakan indikasi bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena blister ini dapat terjadi secara postmortem. Blister yang terjadi postmortem berwarna kuning pucat, kecuali pada kulit yang hangus terbakar. Agak jarang dengan dasar merah atau areola yang erythematous, walaupun ini bukan merupakan tanda pasti. Secara tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk dapat membedakan blister yang terjadi antemortem dengan blister yang terjadi postmortem adalah dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu. Blister yang dibentuk pada antemortem dikatakan mengandung lebih banyak protein dan chloride, tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolute.
d. Pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung
Perdarahan subendokardial pada ventrikel kiri dapat terjadi oleh karena efek panas. Akan tetapi perdarahan ini bukan sesuatu yang spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme kematian. Pada korban kebakaran perdarahan ini merupakan indikasi bahwa sirkulasi aktif sedang berjalan ketika tereksposure oleh panas tinggi yang tidak dapat ditolerasi oleh tubuh dan ini merupakan bukti bahwa korban masih hidup saat terjadi kebakaran.
2.5 Identifikasi Korban
Terlalu seringnya kejadian bahwa mayat yang sudah hangus itu cepat-cepat dikubur hanya dengan sedikit usaha-usaha penyidikan mengenai kematian dari peristiwa yang nyata-nyata terjadi. Bila tidak terdapat kerusakan yang berat dari luka bakar maka identifikasi dapat cepat ditegakkan melalui identifikasi personal, fotografi, atau fingerprints. Akan tetapi bila tubuh sudah hangus terbakar seperti arang dan terjadi mutilasi pada kepala atau ekstremitas sehingga tidak didapatkan lagi sidik jarinya maka methode lain harus digunakan.2,3
Metode yang terbanyak dan paling dipercaya adalah dental identification karena gigi relatif tahan terhadap api. Metode lain yang dapat dipercaya tetapi kurang umum penggunaannya adalah membandingkan x-ray yang diambil antemortem dan postmortem dari korban. Bila identifikasi tidak dapat dibuat melalui finger prints, dental charts, dental x-rays atau antemortem x-ray maka hanya satu harapan yang dapat digunakan dalam menegakan identifikasi yaitu melalui pemeriksaan DNA.
Bagaimanapun juga melengkapi data data pembanding seperti karakter fisik, luka-luka lama atau bekas operasi, tattoo merupakan tugas patologis dalam mengidentifikasi mayat
2.6 Keadaan Umum yang Ditemukan pada Mayat dengan Luka Bakar
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang terbakar sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut keadaan umum yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar.3,4,5,6
a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka sayat dan sering disalah artikan sebagai kekerasan tajam. Artefak postmortem ini dapat mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak adanya perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat. Kadang-kadang dapat terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran partial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan keluarnya sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini terjadi tanpa perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam rongga abdomen.
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak. Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus dapat meluas sampai ke oksipital.
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan pada korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama dengan api dan asap. Tulang – tulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu keputihan dan sering menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini biasanya hancur bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada waktu transportasi ke kamar mayatatau selama usaha memadamkan api. Mayat sering dibawa tanpa tangan dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena sudah mengalami fragmentasi.
f. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi “pugilistic”. Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut otot otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi sebagian atau seluruhnya. Posisi “pugilistic” ini tidak berhubungan apakah individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. “pugilistic” attitude atau heat rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan.
BAB III
KESIMPULAN
Luka bakar merupakan salah satu klasifikasi jenis luka yang diakibatkan oleh sumber panas ataupun suhu dingin yang ting1i, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Dalam aspek kedokteran klinis forensik, dapat dilihat faktor - faktor yang mempengaruhi berat-ringannya luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia. Selain itu, luka bakar juga dibagi dalam berbagai kategori yang disesuaikan dengan derajatnya.
Ini membantu dalam aspek medikolegal luka yang diatur dalam pasal 352 KUHP yang menjelaskan tentang luka ringan yang diasosiasikan dengan penganiyaan ringan. Sedangkan bila ia mengalami luka sedang akan diasosiasikan dengan pasal 351 (1) atau 353 (1) KUHP tergantung pada ada atau tidaknya rencana. Korban dengan luka berat dapat diasosiasikan dengan pasal 351 (1), 353 (2), 354 (1), atau 355 (1) KUHP tergantung pada niat dan ada atau tidaknya rencana.1,2
Pada korban yang sudah meninggal, aspek patologi forensik sangat berperan untuk menentukan penyebab dan mekanisme kematian korban. Kematian akibat luka bakar ini dapat terjadi akibat ketidaksengajaan atau memang ada unsure kesengajaan. Ada beberapa cara yang digunakan untuk membedakan apakah pasien meninggal sebelum atau sesudah luka bakar terjadi seperti jelaga pada saluran nafas, saturasi COHB dalam darah, pendarahan subendokardial ventrikel kiri jantung, dan lainnya yang telah dijelaskan dalam bab pembahasan.
Identifikasi korban tidak mudah dilakukan dan memerlukan ketelitian. Metode yang terbanyak dan paling dipercaya adalah dental identification karena gigi relatif tahan terhadap api. Metode lain yang dapat dipercaya tetapi kurang umum penggunaannya adalah membandingkan x-ray yang diambil antemortem dan postmortem dari korban. Bila identifikasi tidak dapat dibuat melalui finger prints, dental charts, dental x-rays atau antemortem x-ray maka hanya satu harapan yang dapat digunakan dalam menegakan identifikasi yaitu melalui pemeriksaan DNA.
Selain itu, keadaan umum seperti skin split, kerusakan dinding abdomen, fraktur kepala, pseudo epidural hemorrhage juga bisa membantu dalam identifikasi korban.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner dan Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddart. 8th ed. Vol.3. Jakarta: EGC
2. DiMaio J, DiMaio D. Fire Deaths. In: DiMaio J, DiMaio D (eds). Forensic Pathology. 2nd ed. New York: CRC press LLC;2001. p. 1-21
3. Basebeth Keren DR.SPF.DFM. Kematian Karena Luka Bakar. Available at : http://deathduetofire.blogspot.com . Acceseed at January 11, 2011.
4. Dix J. Thermal Injuries. In: Dix J (ed). Color Atlas of Forensic Pathology. New York: CRC Press LLC;2000. P. 116-124
5. Hudspith J, Rayatt S. (2004). First aid and treatment of minor burns. ABC of burns. BMJ
6. Moenadjat, Yefta. (2003). Luka Bakar : Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7. Budiyanto A, et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : SMF Foresik Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.
8. Anonim. Luka Bakar. Available at : http://wikipedia.com. Acceseed at January 11, 2011.
9. Anonim. Severity of burns. Available at : http://www.burnexperts.com/burnseverity.htm. Acceseed at January 11, 2011.
10. Benson A, Dickson WA, Boyce DE. ABC of Wound Healing : Burns. BMJ 2006;332:755
Langganan:
Postingan (Atom)